Kamis, 23 Mei 2013

Pegon: Aksara masyarakat Indonesia yang hilang


Sebelum mengenal aksara Latin, masyarakat Indonesia terlebih dahulu mengenal aksara Arab (Al-Aruf al-Hijāiyya). Penyebabnya adalah sebelum kedatangan bangsa Portugis, Inggris dan Belanda, orang Arab (sebagian orang mengatakan orang India) telah lama datang ke kepulauan Nusantara untuk menyebarkan agama Islam.

Tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa huruf Hijaiyah merupakan huruf asli Indonesia. Masyarakat Indonesia jauh sebelum kedatangan Islam di Nusantara telah mengenal aksara lokal. Masyarakat Jawa telah mengenal aksara Jawa. Aksara ini memiliki empat fase perkembangan, aksara Jawa-Hindu, aksara Jawa Islam, Aksara Jawa Kolonial dan aksara Jawa Modern. Meskipun masyarakat Jawa sebagian telah memeluk agama Islam, aksara Jawa ternyata masih dipergunakan untuk menulis manuskrip, terutama di wilayah Solo atau di Yogyakarta.

Masyarakat  Bugis-Makassar juga mengenal aksara Lontara sejak abad ke-17. Aksara ini juga masih dipergunakan untuk menulis manuskrip Islam meskipun mereka telah mengenal aksara Arab. Di salah satu  naskah Al-Qur’an yang dikoleksi oleh Universitas Leiden, aksara Lonta dipergunakan untuk menterjemahkan Al-Qur’an.

Konversi budaya memang tidak semudah konversi agama. Oleh sebab itu, mengarabkan masyarakat Jawa jauh lebih susah daripada mengislamkan mereka. Sinkretisme adalah fakta teologis proses konversi budaya yang belum tuntas dalam Islamisasi masyarakat Jawa. Huruf Pegon atau Pego juga bisa diibaratkan seperti itu. Sebagian masyarakat masih sulit mengucapkan fā karena sudah terbiasa mengucapkan p. Mereka juga sangat sulit mengucapkan ‘ain, karena terbiasa mengucapkan ngo, oleh sebab itu mereka menyebutnya ngain. Kesulitan sebagian masyarakat Jawa untuk mengucapkan aksara asing tentu saja tidak bisa dianggap sebagai minimnya kadar keIslaman seseorang tetapi hanya salah satu bukti konversi peradaban dalam hal ini adalah berbahasa. Jenis aksara Arab lain yang diadaptasi masyarakat Islam Indonesia adalah aksara Jawi. Kalau Pegon dipergunakan untuk menulis bahasa non Jawa, maka aksara Jawi dipergunakan untuk menulis bahasa non Jawa.

Ketika masyarakat Jawa dikenalkan bahwa kitab sucinya ditulis dengan aksara Arab, maka mau tidak mau mereka harus mengerti bagaimana cara membaca (plus menulis) dengan benar. Tetapi orang Jawa  tetaplah orang Jawa, maka mereka mengadaptasi aksara asing tersebut untuk menuliskan kebiasaan. Aksara Arab yang telah diadaptas untuk menuliskan bahasa Jawa di sebut Pego atau Pegon. Di dalam sejarah perkembangan aksara Jawa, inilah yang dikenal dengan aksara Jawa Islam. Di Manuskrip Islam Pesantren di Jawa, aksara Pegon seringkali dipergunakan untuk menulis jenggotan yang memberi terjemahan bahasa Jawa atas naskah berbahasa Arab yang dianggap sulit. Aksara Pegon juga dipergunakan untuk menulis naskah Tasawuf yang ditulis oleh ulama Jawa. Oleh sebab itu kita perlu mempertanyakan difinisi ”buta huruf”, sebab sebagian masyarakat muslim di Indonesia yang tidak membaca aksara Latin yang dianggap sebagai aksara Kafir, ternyata sangat mahir menulis aksara pegon.

Dalam manuskrip Islam tidak terdapat standar penulisan aksara pegon. Masing masing wilayah dan periode tertentu memiliki cara yang berbeda untu menulis pegon. Bahkan varian penulisan aksara pegon berbeda atar penyalin satu dengan penyalin yang lain. Satu sisi ini tentu menyulitkan bagi mereka yang ingin menyeragamkan tulisan pegon. Tapi di sisi lain, ini adalah sudut menarik sebagai objek penelitian perkembangan penulisan aksara pegon.

Meskipun demikian bukan berarti upaya sistematisasi penulisan aksara pegon tidak pernah dilakukan. Upaya fontasi pegon secara kreatif dilakukan Alif Juman seorang santri pondok pesantren Mlangi Yogyakarta. Menariknya upaya yang dilakukan Alif menjadikan penulisan pegon menjadi sangat mudah. Sebab kita tidak perlu membutuhkan keyboard Arab. Cukup menulis dengan keyboard latin, dengan sistem fontassi pegon, output tulisan di komputer menjadi aksara pegon. Alif Juman dapat dihubungi di alifjuman@yahoo.com

Selanjutnya bagian tulisan ini akan saya tulis dengan sistem fontasi yang dibuat Alif Juman.  Fiontasi yang dia susun adalah Arab Pegon Pesantren.

چارا ينستالاسي فونتاسي اراب ڤڬون ڤسانترن
١.انستال فونت اراب ڤڬون يانڬ ادا ڤادا فولدر فونت دي چونترول.
٢.جالانكان فاسيليتاس ست اوف اونتوك منجالانكان سيستم فونتاسي اراف ڤڬون
٣.ڤيليهلاه فونت اراب ڤڬون ڤسانترن بسار ٢٢ اتاو لبيه
٤. ڤاستيكان كيبوارد يانڬ ديورڬوناكن ادالاه ارابيچ اومان
٥. لالو چيبلاه اوتوك منوليس "ڤاچيتان" ماكا برهاسيللاه ينستالاسي سيستم فونتاسي اراب ڤڬون.
Bagi yang tertarik dengan system fontasi aksara pegon bisa mengunduhnya di http://www.4shared.com/rar/zGLvGaps/pegon.html dan mencoba untuk menjelajahi masa lampau.


Rabu, 22 Mei 2013

Manuskrip Islam dan Kesinambungan Tradisi Pengajaran Islam di Pesantren

Tradisi Ijaza yang masih dipraktikkan oleh beberapa Pondok Pesantren di Jawa Timur menyebabkan apa yang diajarkan di Pesantren mirip dengan apa yang dipelajari pimpinan pesantren saat ia belajar dulu. asebagian besar Manuskrip Islam Pesantren yang ditemukan di beberapa pondok pesantren.

Keterangan itu masih bisa saksikan di catatan pinggir di beberapa manuskrip Islam Pesantren. Pada kesempatan ini saya mau menampilkan dua buah contoh. Contoh pertama adalah sebuah naskah dengan nomer registrasi Lang.Ar002. Pada bagian akhir terdapat catatan bahwa naskah tersebut pernah dipelajari Kyai Soleh pada saat belajar di Yaman. Buku tersebut berjudul Tasrif al-Izzi. Meskipun Tasrf al-Izzi saat ni tidak lagi dipergunakan dalaam kurikulum pengajaran Ilmu Sarf dan digantikan di sebagian pesantren dengan Al-Amthila al-Tasrifiyya, tapi kitab ini pernah digunakan di Pondok Pesantren Langitan dalam pengajaran Ilmu Sarf.


Lang.Ar002_f. 70a
Al-Tasrif al-Izzi
Pada catatan pinggirnya disebutkan "sahib hadha al-kitab al-musamma bi al-Salih hina talaba al-ilma fi masjid Yaman"

Naskah aslinya disimpan di Pondok Pesantren Langitan sedang digital faksimailnya merupukan koleksi Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, LPAM Surabaya.








Contoh kedua ada pada naskah yang juga dimilik Kyai Saleh Langitan. Naskah dengan Nomer registrasi Lang.Ar011 merupakan salinan dari kitab Bidaya wa Nihaya karya Abu Hamid al-Ghazali. Dalam catatan pinggir di permulaan halaman disebutkan  bahwa catatan pinggir yang ada merupakan taqrir dari Kyai Mas Abdul Qahhar saat belajar Tasawuf. Kyai Abdul Qahhar merupakan guru Kyai Saleh saat belajar di Pondok Pesantren Sidoresmo Surabaya. Kitab tersebut kemudian menjadi salah satu kitab yang dibaca di Pondok Langitan hingga sekarang.


Lang.Ar011_f. 1b
Salinan Kitab Bidaya wa Nihaya karya Abu Hamid al-Gazali.
Naskah aslinya sekarang tersimpan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, sedangkan digital faksimailnya merupakan koleksi Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, LPAM Surabaya

Selasa, 21 Mei 2013

Ijaza pada Munuskrip Islam Pesantren

Ijaza menjadi faktor penting dalam tradisi keilmuan Islam. Ijaza merupakan pemberian otoritas seorang guru kepada muridnya. Dan selanjutnya sang murid akan menjadi pewaris keilmuan gurunya dan diberi otoritas untuk mengajar ilmu tersebut kepada orang lain. Atau dengan ungkapan lain, seorang murid yang telah memperoleh ijaza dari gurunya akan menjadi sanad (mata rantai) penyebaran ilmu pengetahuan.

Pada abad pertengah Ijaza menjadi bukti kedekatan personal seorang murid dengan gurunya. Seorang murid akan memperoleh ijazah bila ia dianggap memiliki kualifikasi kualitas akademis dan spiritual tertentu di mata gurunya.

Witkam, menyebutkan ada tiga jenis ijaza yang dikenal dalam Sejarah Tradisi Pengajaran Ilmu-Ilmu Keagamaan Islam, Ijaza Qira'a, Ijaza Sima'a dan Ijaza Ta'lim. Informasi lebih lengkap ketiga jenis ijaza dapat dibaca di artikel yang ditulisnya dengan judul The Human Element Between Text and Reader, The Ijaza in Arabic Manuscripts. Artikel tersebut bisa diunduh secara gratis di http://www.4shared.com/office/KjJCkgJS/Witkam-1995-Human_element.html atau langsung ke www.islamicmanuscript.info . Sayangnya pola pemberian ijaza seperti yang dipraktikkan pada tradisi pembelajaran Islam abad pertengahan sudah sulit kita temukan. Ijaza kemudian bergeser kepada simbol ikatan seseorang dengan lembaga pendidikan dimana seseorang menuntut ilmu.

Di lingkungan pesantren kita menemukan sebuah manuskrip yang menjelaskan secara jelas (sarih) tentang pemberian ijaza dalam pengajaran sebuah kitab Jawharat al-Tawhid. Manuskrip tersebut adalah karya Kyai Abu Fadal Senori Tuban (w. 1984). Kyai Fadal memperoleh ijaza pengajaran kitab tersebut, kemudian memberi penjelasan dalam karya monumentalnya Al-Durr al-Farid Fi Sharh Jawharat al-Tawhid, 628 folio (halaman)

Snr.Ar01_f. 2a
Baris ke tiga dari bawah menunjukkan sebagian sanad pengajaran Kitab Jawharat al-Tawhid yang berasal dari Kyai Hashim Ash'ari kemudian Kyai Mahfud Termas dan selanjutnya.
Naskah kitab ini menjadi koleksi Kyai Abd. Jalil Senori sedangkan digital faksimailnya merupakan koleksi Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, LPAM Surabaya.













Senin, 20 Mei 2013

Karya Adam Gacek yang kedua

Ada dua buah karya tulis Adam Gacek yang menurut saya berguna untuk mereka yang melakukan studi manuskrip beraksara Arab (Arabic Manuscript). Pertama berjudul Arabic Manuscripts: A Vademecum for Readers dan sudah saya posting sebelumnya. Buku ini membahas persoalan persoalan sekitar studi naskan beraksara Arab. Yang Kedua berjudul The Arabic Manuscript Tradition: A Glossary of Technical Terms & Bibliography. Buku yang kedua mengumpurkan istilah-istilah yang sering dijumpai dalam karya karya yang mengkaji naskah beraksara Arab. Menurut saya kedua buku ini penting dibaca sebagai pengetahun dasar bagi mereka yang menekuni studi manuskrip terutama yang beraksara Aeab.
Bagi kawan kawan yang berminat membacanya, saya mau membaginya secara gratis, karena saya juga mengunduhnya secara gratis. Yang berminat silahkan mengunduhnya di tautan ini http://www.4shared.com/office/2PFadm-k/Adam_Gacek_The_Arabic_Manuscri.html. Selamat membaca semoga bermanfaat.

Arabic Manuscripts

Kawan kawan sekalian, kali ini saya mau berbagi sebuah buku bacaan tentang Studi Manuskrp beraksara Arab (Arabic Manuscripts). Buku tersebut ditulis oleh Adam Gacek dengan judul Arabic Manuscripts A Vademecum for Readers. Sebagaimana yang disampaikan penulisnya, buku ini meringkas problematika yang ditemui dalam mekalukan studi terhadap manuskrip beraksara Arab (xi). Meskipun buku ini secara tidak laangsung berkaitan dengan manuskrip Islam pesantren, tapi mengingat koleksi pesantren kebanyakan ditulis dalam aksara Arab, menurut hemat saya buku ini layak untuk dibaca sebagai memperluas cakrawala problem yang mungkin dihadapi saat melakukan penelitian manuskrip yang kini masih banyak disimpan di lingkungan pesantren.

Bagi kawan kawan yang ingin membacanya bisa mengunduhnya di http://www.4shared.com/office/g6R7G7nc/gacek_Arabic_Manuscripts.html. Akhirnya saya mengucapkan selamat membaca semoga bermanfaat

Minggu, 19 Mei 2013

Membaca Manuskrip Islam Pesantren


Catatan:
Tulisan ini merupakan catatan (note) yang pernah saya tulis di akun facebook saya. Sengaja saya daur ulang supaya bisa dibaca oleh kawan kawan yang belum sempat menjadi friend-list saya. Selamat membaca semoga bermanfaat.

Pendahuluan
Jawa Timur, memiliki pesantren dengan jumlah terbesar bila dibandingkan dengan propinsi propinsi lainnya di Indonesia. Sedangkan menurut kajian sejarah maupun antropologis, pesantren sejak berdirinya merupakan pusat pembelajar vis a vis terhadap lembaga pendidikan sekular yang diciptakan oleh pejajah kolonial Belanda. Sebagai pusat pembelajaran, pesantren merupakan simpul bagi transmisi ilmu-ilmu ke Islaman yang pernah berkembang di belahan dunia Islam lainnya. Tradisi intelektual pesantren, tidak hanya mengasilkan karya karya penjelas (sharḥāshiya) tetapi juga melahirkan karya orisinal yang berbeda dengan karya karya intelektual yang pernah ditulis oleh cendekiawan muslim sejawat di belahan dunia lainnya.  Meski pesantren, secara kelembagaan pernah menjadi pusat kegiatan akademis yang par exelance, tidak semua pesantren tua di propinsi Jawa Timur masih memsisakan warisan intelektual dalam bentuk warisan tertulis. Maka kebesaran pesantren sebagai pusat pengajaran hanya bisa direkonstruksi lewat kajian antropologis, dan sejarah lisan.

Meski demikian, beberapa pesantren masih menyimpan warisan tertulisnya. Pesantren tersebut diantaranya adalah. Pondok Pesantren Langitan di Widang, Tuban; Pondok Pesantren Dar al-Ulum, Senori Tuban, Pondok Pesantren Tarbiya al-alaba, Keranji, Paciran, Lamongan, Pondok Pesantren Tegalsari, Jetis Ponorogo, dan Pondok Pesantren Al-Ishaqi, Coper Ponorogo. Memang kelima pondok Pesantren tersebut tidak semuanya masih ada hingga sekarang. Pondok Pesantren Tegalsari, Pondok Pesantren al-Ishaqi di Ponorogo, dan Pondok Dar al-Ulum hingga hari ini, keberadaannya hanya tinggal sejarah semata. Tetapi paling tidak, sebagai pusat kegiatan ilmiah di masa lalu, keberadaannya masih bisa kita rekonstruksi dari manuskrip yang masih tersimpan rapi di kelima pondok pesantren tersebut.

Hilangnya jejak tertulis untuk merekonstruksi pesantren sebagai pusat kegiatan akademis di masa lalu bukanlah tanpa sebab. Di lingkungan pesantren tidak jarang manuskrip merupakan barang yang harus diwari. Karena barang warisan bisa jadi sebagian manuskrip diwarisi salah satu keturunan yang tidak menyadari nilai informasi yang terkandung dalam manuskrip tersebut. Tidak hanya itu, tidak jarang sang pewaris manuskrip tidak memiliki kemampuan untuk merawar dan membaca apa yang diwaarisinya. Di sisi lain studi filologi di kalang pengkaji Islam memang belum nampak geliatnya. Sehingga faktor eksternal ini tidak menjadi impetus bagi upaya perawatan manuskrip di lingkungan pondok pesantren. Maka tidak jarang penelusuran keberadaan manuskrip Islam di lingkungan pondok pesantren dihadapkan pada kenyataan hilangnya manuskrip di lingkungan pesantrenyang dianggap besar. Hilangnya manuskrip ini bisa diakibatkan oleh beberapa faktor; pertama, telah dibakar oleh pemiliknya karena telah rusak dimakan rayap; kedua, lenyap karena dipinjam untuk dipamerkan tanpa dikembalikan; ketiga, dijual kepada kolektor barang antik.

Manuskrip Islam Pesantren bisa diibaratkan sebagai jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa dimana pondok pesantren pernah menjadi pusat kegiatan ilmiah di masa lalu. Ia menjadi bukti sejarah yang mampu membantu untuk merekonstruksi sejarah dan peradaban yang pernah terbentuk oleh aktifitas akademis di lingkungan pesantren. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana kita cara membacanya? Apakah membaca manuskrip sama dengan membaca buku yang sudah tercetak? Tulisan ini ini dibuat untuk memberi jawaban atas dua pertanyaan utama tersebut.

Membaca Manuskrip Islam
Saya akan memulai dari sebuah ilustrasi pengalaman saya saat membaca Manuskrip Islam yang aslinya tersimpan di desa Keranji. Manuskrip tersebut ditulis dalam huruf Arab Pegon. Artinya, manuskrip tersebut ditulis dengan aksara Arab tetapi dalam bahasa Jawa, sehingga terdapat modifikasi huruf hijaiyah untuk menulis aksara ng, ny, dh, e, dan lain lain. Manuskrip tersebut tidak memiliki informasi yang bisa dindikasikan sebagai judul manuskrip. Tetapi dari kalimat pertama, tim dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya mencoba memberi judul dengan ”Ilmu Kasepuhan”. Dalam kalimat pertama di sebutkan, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ”ketahuilah ini adalah ilmu Kasepuhan yang berasal dari Sunan Giri Kedaton”. Pada kalimat selanjutnya disebutkan ”barang siapa yang giat mengamalkannya maka jasadnya akan tetap utuh di dalam kubur”

Sekilas membaca dan berhenti hanya pada dua kalimat pertama kemudian melanjutkan pada kesimpulan bahwa Sunan Giri mewariskan ilmu pengawetan mayat akan menyesatkan. Sebab bila kita membaca lebih teliti pada kalimat dan halaman berikutnya,  manuskrip tersebut justru lebih layak untuk dikategorikan pada manuskrip yang berisi ajaran tasawuf, ketimbang ajaran tentang ilmu pengobatan, atau ilmu pengawetan mayat.

Tetapi dengan memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi kesehatan lainnya, seperti Quantum Touch (QT) dan Spiritual and Emotional Freedom Technique (SEFT) kita memperoleh kesimpulan yang sedikit lebih kompleks. Manuskrip dengan nomer registrasi Kr.Pgn_005c, ternyata menyamarkan pelajaran pengobatan berbasis energi chakra seperti yang dikenal dalam tradisi Ayurveda dan dikembangkan masyarakat India.

Secara fisik manuskrip memang sama dengan buku. Yang membedakan, manuskrip masih ditulis dengan tulisan tangan, sedangkan buku sudah dicetak dengan teknologi percetakan. Tetapi kalau kita baca lebih jeli ke detail yang ada dalam manuskrip, maka banyak aspek yang ada dalam manuskrip perlu dibaca.

Sebagai produk peradaban, paling tidak terdapat dua askpek yang dikandung oleh sebuah manuskrip. Kedua aspek tersebut adalah aspek kodikologis, dan aspek filologis. Kodikologi menekankan aspek  fisik sebuah manuskrip; sedangkan filologi menekankan kajian teks dari sebuah manuskrip. Aspek fisik yang dikaji dalam ilmu kodikologi diantaranya adalah, warna tinta, jenis huruf, bahasa, jenis kertas, watermark, teknologi penjilidan, rubrikasi, lay out, sejarah manuskrip itu sendiri. Sedangkan untuk melakukan eksposisi terhadap teks yang ada dalam sebuah manuskrip kita bisa melakukan edisi faksimail, edisi diplomatik, edisi kritis.
Melakukan alih bahasa dalam studi manuskrip tentu saja sah untuk dikerjakan sebagaimana dilakukan bayak filolog seperti Achadiati Ikram, Tujimah atau Kuntoro, tetapi eksposisi semacam ini kurang menempatkan sebuah manuskrip pada konteks sejarah dan pedaban yang melingkupinya. Membaca sebuah manuskrip dalam konteks sejarah akan mampu merekonstruksi peradaban sebuah masyarakat dimana manuskrip tersebut diproduksi (aspek geo-kultural) tetapi merekonstruksi peradaban pada sebuah periode tertentu (aspek kronologis). Oleh sebab itu membaca sebuah manuskrip hampir bisa dikatakan mustahil bila hanya dengan bantuan satu disiplin ilmu pengetahuan saja, seperti bahasa.

Kalau melihat lebih dekat maka manuskrip memberi informasi sangat detil. Melakukan perbandingan dengan beberapa manuskrip yang ditulis pada periode yang berbeda, seorang paleografer akan memiliki data perkembangan jenis tulisan yang berkembang di sebuah kawasan dan periode tertentu. Pembuatan database tentang watermark, umpamanya, dapat menjadi  pintu untuk merekonstruksi hubungan perdagangan antara sebuah wilayah dengan dunia luar. Studi terhadap rubrikasi dan illuminasi akan menjadi data sejarah seni yang pernah berkembang di sebuah wilayah. Menelisik teknologi penjilidan yang masih tersisa akan menjadi bukti awal bagaimana tahap awal teknologi perbukuan dikenal sebuah masyarakat. Sejarah manuskrip yang diberikan pada kolofon sebuah manuskrip akan menjadi bukti awal dari upaya rekonstruksi awal sebuah tradisi intelektual di sebuah periode tertentu.

Dari aspek filologis, fungsi harakat, pola terjemahan dan ini catatan pinggir juga belum banyak dilakukan oleh para filolog yang menekuni manuskrip Islam. Studi yang mendalam tentang pola pemberian harakat akan mengungkap banyak hal seperti interaksi pemakai manuskrip dengan manuskrip yang dibacanya. Cara penterjemahan juga bisa dibuat data awal sejarah tradisi membaca manuskrip. Apalagi konten dari catatan pinggir akan mengungkapkan upaya kontekstualisasi ajaran Islam yang terdapat dalam kitab kuning dalam konteks lokal.

Oleh sebab itu membaca manuskrip hendaknya menjadi proyek peradaban yang dilakukan secara interdisipliner. Terlalu banyak hal yang berhubungan dalam melakukan studi manuskrip sehingga  untuk membacanya secara komprehensip tidak mungkin bila hanya dilakukan oleh seoerang filolog atau kodikolog.

Surabaya,  11 Oktober 2011

Bukti Kepemilikan Manuskrip Islam Pesantren

Kepemilikan Manuskrip Islam pesantren ditunjukkan dengan dua pola. Pola pertama dengan memberikan stempel pada salah satu folio dari manuskrip tersebut. Pola kedua adalah informasi yang diberikan pada kolofonnya, dan ini yang paling banyak.

Bukti kepemikikan Kyai Salih atas Manuskrip koleksi podok pesatren Langitan, Widang  Tuban.













































Bukti Kepemilikan Kyai Abdul Hadi atas Manuskrip koleksi Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban












Bukti Kepemilikan Kyai Ahmad Marzuqi atas Manuskrip koleksi Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban.













Bukti Kepemilikan Kyai Mustofa b. Abdul Karim atas Manuskrip koleksi Pondok Pesantren Tarbiyat al-Talaba, Keranji Lamongan











Bukti kepemilikan Kyai Jailani atas Manuskrip Islam di Tegalsari, Ponorogo

Moh. Djaelani Goeroe Moelang Satri Tegalsatri










Bukti kepemilikan lainnya akibat jual beli

Penget ingkang gadah kitab Tafsir Ki Syar'iyo (?) ing Tuban dipun tumbas Bagus Hanuyo in Mataraman.

Jumat, 17 Mei 2013

Manuskrip Islam Pesantren dan Buku Harian

Salah satu jenis Manuskrip Islam Pesantren adalah berbentuk catatan harian atau kalau istilah sekarang dikenal dengan sebagai diary. Sebagian besar Manuskrip Islam Pesantren merupakan salinan kitab kuning yang pernah dipelajari para pelajar di Timur Tengah. para pelajar tersebut di kemudian hari menjadi kyai di beberapa pondok pesantren. Karena berbentuk diary maka isinya pun begitu beragam dari satu folio ke folio lainnya.
Salah satu contoh Manuskrip Islam Pesantren adalah naskah yang kini tersimpan di Tegalsari Ponorogo. Naskah tersebut diregister oleh tim peneliti dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, LPAM Surabaya dengan nomer Ts.Pgn003. Naskah tersebut ditulis dengan aksara Arab berbahasa Jawa (Pegon).

Pada folio nomer 17 b, dicatat peristiwa berdirinya Masjid Agung Ponorogo

















Pada folio nomer 21b dicatat peristiwa konflik horizontal atara Komunis (PKI) dan Masyumi dai daerah Jetis Pono rogo.                                                                                                                                    














sedangkan pada folio nomer 28a dicatat berdirinya organisasi kemasyarakatan Islam, Nahdatul Ulama Ponorogo















Tema yang beragam pada sebuah naskah bisa jadi disebabkan harga kertas saat itu yang relatif cukup mahal sehingga pemakaian kertas menjadi lebih efisien.

Kamis, 16 Mei 2013

Al-Qur’an sebagai sebuah Teks


Ini adalah note yang pernah saya tulis di page saya STUDI MANUSKRIP pada tanggal 7 April 2013. Saya posting kembali di blog ini sebagai salah satu cara mendokumentasikan supaya lebih banyak dibaca orang, siapa tahu ada manfaatnya.

Al-Qur’an diyakini oleh ummat Islam sebagai salah satu teks yang wajib dibaca apabila seorang pemeluk ingin tahun ajaran agamanya. Tidak terhitung jumlahnya proses yang dilakukan oleh ummat Islam untuk melakukan proses penyalinan dari generasi ke generasi. Sejak abad pertama hijriyah hingga abad ke-lima belas hijriyah. Awalnya dari bentuk tradisi lisan (hapalan) hingga akhirnya menjadi tradisi tulis (teks tertulis). Sebagai hasil salinan, teks Al-Qur’an uniknya diyakini oleh Ummat Islam bebas dari kesalahan. Artinya sebagai teks, AlQuran yang kita saksikan hari ini berbunyi persis 100 persen dengan apa yang dibunyikan ummat Islam pada periode Nabi Muhamad. Kalau ummat ditanya tentang keyakinan teologisnya maka semua akan mengutib firman Allah yang berbunyi ”Innā nanu nazzalnā al-dhikrā wa innā lahū laḥāfiḍūn” yang artinya ”Sesungguhnya Aku yang telah menurunkan Al-Dhikrā (sebutan lain dari Al-Qur’ān dan Aku (sendiri) yang akan menjaganya” Tapi ummat Islam jarang bertanya secara akademis, Al-Qur’an yang dijaga Allah itu Al-Qur’an sebagai tradisi tulis apa sebagai tradisi lisan, atau sebagai aksara atau sebagai bunyi, sebagai teks atau sebagai isi?

Sebai sebuah bunyi, sejak awal diturunkannya hingga ayat terakhir, Al-Qur’an menjadi bahan hapalan seluruh para sahabat. Hampir semua para sahabat merupakan pengapal Al-Qur’an, meskipun anggapan ini layak diragukan, sebab tidak semua sahabat memiliki hapalan yang bagus sehingga layak menjadi seorang rawi hadīth yang reliable (thiqa). Tetapi historiografi Islam klasik tidak memberikan data siapa saja para sahabat Rasul yang tidak berminat menghapal Al-Qur’an karena memang kurang memiliki kekuatan menghapal. Data sejarah ini kemudian dikuatkan oleh adigum teologis yang mengatakan bahwa ”kullu aḥāba ‘udul” semuah sahabat layak dipercaya. Dikotomi ummat Islam menjadi dua komunitas teologis, Sunni dan Syi’ah sebenarnya menjadi argumen sejarah yang menafikan adigum di atas. Bagi kalangan Syi’ah narasi Islam akan lebih valid bila bersumber pada jalur Ahl Bait, sedangkan kelompok Sunni cenderung memilih untuk tidak memilih jalur tersebut. Ilm Jar wa al-Ta‘dīl dalam Muala al-Hadīth juga menjadi bukti akademis bahwa seorang sahabat tidak semua layak mampu menarasilak ucapan Rasul.  Nah sekelompok yang tidak semua layak menarasikan Hadīth, mestinya juga tidak semua layak menarasikan Al-Qur’an secara verbal. Sayangnya kita tidak memiliki data sejarah yang memadai siapa sahabat yang tidak hapal Al-Qur’an. 

Ketika terjadi perang Uhud, banyak sahabat yang hapal Al-Qur’an meninggal menjadi shuhada’ Uhud, Rasulullah mulai berpikir untuk menjadikan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan. Meninggalnya para sahabat yang menghapal Al-Qur’an tentu saja merisaukan hati Rasulullah, karena itu bisa berarti hilangnya Rasullah sebagai teks verbal. Semenjak itu kemudian Rasulullah menunjuk beberapa sahabat untuk menulis apa yang diterima dari Allah lewat malaikat Jibril. Salah satu sahabat Nabi yang dipercaya sebagai penulis wahyu adalah Zayd bin Thābit. Alqur’an semenjak itu tidak lagi merupakan teks verbal yang dihapal para sahabat melainkan juga teks tertulis diatas media yang ada pada saat itu. Untuk menghindari tercampur baurnya antara dua teks suci: Al-Qur’an dan Al-Sunna, maka Rasulullah melarang para sahabat untukmenuliskan darinya kecuali Al-Qur’an. Artinya penulis Hadith Nabi dilarang oleh Nabi sendiri saat dia masih hidup. Sebagai teks tertulis, Al-Qur’an jelas lebih tua meskipun sebagai teks verbal kedua teks suci tersebut berumur sama tua.

Pada awalnya Al-Qur’an ditulis di atas media apa adanya, dan aksara yang dipergunakan pada saat itu. Ditulis di atas tulang belulang, papan, kemudian dengan media yang lebih baik yaitu kulit menjangan yang disamak kasar (parchment). Aksara yang dipergunakan juga sederhana, kufi tanpa ada titik dan vokalisasi. Sebagai teks tulis Al-Qur’an mungkin mengalami perubahan, dari media yang dipergunakan untuk penulisan di atasnya, jenis aksara hingga jenis kha yang dipakai untuk menulisnya. Tetapi sebagai teks verbal, Al-Qur’an relatif lebih homogen alias nyaris sama, sebab menghapal Al-Qur’an merupakan tradisi keagamaan yang ditransmisikan dari generasi ke generasi lainnya.

Keragaman Al-Qur’an sebagai teks tulis nampak jelas ketika kita meneliti banyak naskah salinan Al-Qur’an di belahan dunia manapun. Keragaman yang paling sederhana tentu saja bisa dilihat dari aspek kodikologis. Aspek kodikologis adalah hal hal yang terkait dengan jenis dan warna tinta , jenis khat, jenis kertas, teknologi penjilidan dan lain sebagainya. Aspek kodikologis ini erat hubungannya dengan kebudayaan lokal dimana Al-Qur’an disalin. Keragaman yang lain bisa dilihat dari aspek filologis. Di banyak tempat pada naskah salinan Al-Qur’an terdapat tidak sedikit kesalahan tulis, meskipun kemudian kesalahan tersebut diberi pembetulan oleh penyalin berikutnya. Kesalahan tersebut ada yang berupa hilangnya beberapa kata, bisa juga merupakan penjelasan tentang perbedaan cara menulis sesuai dengan jenis cara membaca Al-Qur’an (Al-Qirā’a al-Sab‘a).

Lembaga Pentashihan Al-Qur’an yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk mendekatkan Al-Qur’an sebagai teks tulis dan teks verbal. Meskipun lembaga ini adalah lembaga yang paling otoritatif, tidak ada satupun teks tulis Al-Qur’an yang dianggap paling reliable untuk dijadikan rujukan dalam mentashihkan. Dalam mentashih mereka tidak melakukan proses kolasi. Yang mereka lakukan adalah mencocokkan antara teks verbal dengan teks tulis yang hendak naik cetak. Di sinilah urgensinya lembaga pendidikan yang mengkhususkan peserta didiknya untuk menghafal Al-Qur’an.

ã Amiq Ahyad

Rabu, 15 Mei 2013

Ilustrasi pada Manuskrip Islam

Ilustrasi adalah gambar pada sebuah manuskrip. Gambar tersebut akan membantu pembacanya untuk lebih bisa memahami isi manuskrip yang sedang dinarasikan. Gambar mampu berbicara dengan seribu bahasa pada saat yang bersamaan. Dalam manuskrip Islam Pesantren illustrasi sering diberikan pada naskah tasawuf, terutama yang ditulis dalam bahasa Jawa beraksara Arab (Pegon).

Ini adalah salah illustrasi yang menurut saya indah untuk menggambarkan bahwa Qurbanmu adalah tungganganmu untuk meniti titian rambut dibelah tujuh (Sirat al-Mustaqim) untuk menuju Surga)

Kr.Pgn08_f. 127a.

Problem Katalogisasi Manuskrip beraksara Arab

Beberapa problem katalogisasi Manuskrip beraksara Arab dan solusinya bisa dibaca di artikel yang ditulis A. Gacek. Yang berminat silahkan mengunduh secara gratis di  http://www.adrive.com/public/SX5nu5/some%20remarks%20on%20the%20cataloguing%20arabic%20manuscripts.pdf  semoga bermanfaat

Selasa, 14 Mei 2013

Menyalin Manuskrip II


Bila kita menemukan kata Muswadda dan Mubyaḍḍa pada sebuah manuskrip maka perbedaan dua itilah itu adalah sebagai berikut. Muswadda adalah salinan biasa, sedang Mubyaḍḍa adalah salinan dari naskah yang ditulis oleh pengarang naskah (holograph). Kedua istilah ini penting bagi mereka yang melakukan kajian stemma sebuah naskah atau akan menerbitkan sebuah edisi kritis pada sebuah naskah.

Pada setiap proses penyalinan manuskrip, selalu saja terdapat perbedaan antara salinan dan naskah yang disalin. Atau dengan unkapan lain, bahwa holograph pasti berbeda dengan muswadda. Tetapi para filolog berbeda menyikapi fenomena ini. Kelompok pertama menganggap bahwa perbedaan itu akibat dari kecerobohan penyalin yang semestinya dihindari oleh penyalin. Kelompok kedua menganggap perbedaan tersebut merupakan kreatifitas penyalin dalam memahami naskah yang disalin, dari disinilah kita memperoleh data sejarah tentang tradisi penyalinan naskah dan respon atas naskah yang dibaca.

Senin, 13 Mei 2013

Menyalin Manuskrip I

Membaca, menyalin tidak hanya membutuhkan pengetahuan kebahasaan saja, tapi juga membutuhkan ilmu seperti geografi, sejarah, dan budaya setempat. Kesalahan dalam proses penyalinan seringkali disebabkan oleh hal ini. Sebagai contoh, saat menerbitkan (menyalin naskah dari edisi manuskrip menjadi edisi cetak) karya KH. Hashim Ash'ari yang berjudul "Al-Jasus fi Bayan Hukm al-Naqus" menulis kata "mujawizina" tanpa harakat dengan huruf "mim-jim-alif-waw-za'-na" ternyata bukan za' tetapi ra karena ketambahan titik. sehingga dibaca "Mujawirina" atau "Mojowarno" sebuah desa dekat Jombang, dimana Rumah Sakit tempat KH. Hashim Ash'ari pernah dirawat saat sakit.




















Gambar yang ada disamping adalah halaman pertama dari buku Al-Jasus Fi Bayan Hukm al-Naqus. Buku ini disalin dari manuskrip yang disunting oleh Gus Ishom Hadzik dari manuskrip yang ditulis oleh Kyai Hashim. Saya sendiri memiliki salinan manuskripnya pada saat melakukan pennelusuran khazanah pesantren di pondok pesantren Langitan Tuban. Manuskrip salinan masih tersimpan di pondok Langitan sedangkan format digitalnya (digital faksimail) menjadi koleksi Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, LPAM Surabaya.

Perhatikan kesalahan dalam penyalinan yang terdapat pada baris ke-8 dari atas, seharusnya, mim-jim-alif-waw-ra-nun-alif  tapi terlulis mim-jim-alif-waw-za-nun-alif. yang merupakan nama desa Mojowarno yang terletak tidak jauh dari Jombang, tempat rumah sakit dimana Kyai Hashim dirawat saat sakit dan melihat fenomena yang menjadi asbab al-wurud  haramnya hukum memukul kentongan sebagai tanda masuk waktu salat.

Surabaya, 14 Mei 2013
salam,
Amiq Ahyad

Interlinear Notes dan Manuskrip Islam Pesantren



Di kalangan santri di wilayah Jawa Tengah, ada dua istilah yang dipergunakan untuk menyebut istilah interlinear notes ini. Yang pertama adalah Jambulan dan Jenggotan. Istilah pertama diperuntukkan bila catatan berada diatas baris dari naskah utama, sedangkan Jenggotan diperuntukkan bagi catatan yang berada di bawah baris naskah utama. Meskipun keduanya menunjukkan catatan diantara dua baris utama, dari isi dan fungsinya istilah kedua lebih cocok untuk istilah interlinear trannslation. Interlinear translation adalah arti yang diberikan pennyalin manuskrip Islam Pesantren atas kata kata yang  tidak dipahaminya dari sebuah naskah utama (al-matn). Sesuai artinya, arti dari kata yang sulit tersebut ditulis diantara dua baris dari naskah utama.

Dari sisi jenis tulisan (al-khaṭṭ) naskah utama dan interlinear notes memiliki jenis yang bebeda. Naskah utama pada manuskrip Islam Pesantren seringkali ditulis dengan khaṭṭ jenis Naskh, sedangkan interlinear meaning seringkali ditulis dengan  jenis Ruq‘a. Kedua jenis catatan tersebut ditulis dengan tulisan miring (slanting) dengan sudut kemiringan 45 derajat.

Dari sisi bahasa kedua jenis teks dalam manuskrip Islam Pesantren juga memiliki perbedaan bahasa yang dipergunakan. Mayoritas manuskrip Islam Pesantren merupakan salinan naskah yang sama yang pernah ada di pusat pengajaran Islam di Timur Tengah, sehingga mayoritas bahasa yang dipergunakan untuk menulis naskah utama adalah bahasa Arab. Jambulan yang seringkali berfungsi memberikan padanan kata ata keterangan singkat terhadap naskah utama seringkali juga ditulis dalam bahasa Arab. Sebaliknya Jenggotan seringkali ditulis dalam bahasa lokal. Bila naskah disalin di kawasan Jawa, biasanya Jenggotan ditulis dalam bahasa Jawa, begitu juga bila naskah Islam ditulis di kawasan lainnya seperti Madura, Makasar, atau kawasan geografis lainnya.

Sebagaimana penambahan vokalisasi pada naskah utama, penambahan interlinear notes erat hubungannya dengan tradisi pengajaran Islam di lingkungan pondok pesantren. Tradisi pengajaran ini diadopsi dari tradisi pengajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam di Timur Tengah. Pada tulisan singkat saya sebelumnya bahwa awalnya seorang guru akan membacakan naskah utama di hadapan para murid dan para urid kemudian memberi harakat padfa teks yang belum dipahami. Kemudian sang guru mengartikan kalimat yang dianggap sulit kedalam bahasa ibu para muridnya. Bila para murid berasal dari Jawa maka naskah keagaman yang dibaca diberi jenggotan dalam bahasa Jawa. Begitu juga bila sang murid berasal dari Jawa Barat, Padang, Makasar, Madura dan daerah lainnya. Tradisi ini bisa dengan jelas dibaca dalam naskah yang berjudul Tarājim yang kini tersimpan dengan rapi di perpustakaan Universitas Leiden dengan nomer registrasi Or. 7111.


Or.7111_f. 11

Tambahan interlinear notes pada naskah utama tentu saja bisa ditafsirkan secara beragam. Pertama, munculnya banyak jenggotan menunjukan tingkat penguasaan seorang murid terhadap bahasa Arab. Semakin banyak kosa kata bahasa asing yang dikuasai oleh seorang murid maka semakin sedikit jenggotan yang ditulis oleh sorang murid selama proses pembelajaran. Terkait dengan interpretasi pertama, munculnya sejumlah jengotan maupun jambulan berhubungan dengan tingkatan seorang murid. Semakin tinggi tingkatan dengan sedirinya kosa kata bahsa asing yang dikuasai seorang murid akan semakin banyak. Maka jumlah jenggotan maupun jambulan pada naskah yang disalin akan semakin sedikit. Kemungkinan ketiga adalah posisi yang diambil seorang murid pada proses pembelajaran. Murid yang berada di lingkaran pertama akan mendengar lebih jelas apa yang sedang disampaikan seorang guru pada proses pembelajaran. Sedangkan murid yang berada di lingkarang kedua, ketiga dan selanjutnya akan semakin kurang jeli mendengar aa yang sedang disampaikan gurunya. Dengan demikian, semakin jelas seorang murid mendengar apa yang disampaikan gurunya maka akan semakin banyak catatan yang dicatat pada naskah yang sedang dimilikinya.

Masih ada kemungkinan keempat bila dihubungkan dengan tradisi pembelajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam. Di Pondok Pesantren Lasem umpamanya, kyai Maimun Zubair melarang muridnya untuk memberikan catatan berlebihan pada kitab yang sedang dipelajarinya. Larangan ini bertujuan agar pengajaran sebuah kitab bisa berlangsung dengan cepat. Sedangkan di Pondok Pesantren Langitan justru memiliki tradisi yang berlawanan. Kyai Soleh kemudian dilanjutkan oleh Kyai Abdullah Faqih menyarankan kepada muridnya untuk memberikan jenggotan sebanyak mungkin sehingga di masa mendatang sang murid memiliki pemahaman yang benar terhadap sebuah kitab yang telah mereka pelajari.





Lang.Ar03(2)_f.25a.

Jenggotan inilah di masa kini menjadi penanda utama asal sebuah naskah. Bila jenggotan ditulis dalam bahasa Jawa huruf pegon maka hampir bisa dipastikan naskah yang ditemukan berasal dari tanah Jawa atau disalin orang yang memiliki interaksi dengan kultur Jawa.

Surabaya, 14 Mei 2012

Salam,
Amiq Ahyad

Minggu, 12 Mei 2013

Vokalisasi dan Manuskrip Islam Pesantren

Kebanyakan Manuskrip Islam Pesantren merupakan salinan dari kitab kuning yang telah dicetak dipasar kitab kuning pada periode sekarang. Dahulu merupakan kitab yang dipelajari para pendiri pesantren saat belajar di Timur Tengah. Yang saya maksud dengan Timur Tengah adalah pusat kegiatan pengajaran Islam di kawasan gepgrafis di atas seperti Makkah dan Madinah di Arab Saudi saat kini, Yaman, Al-Azhar di Mesir dan Turki. Mereka menyalinnya, atau membeli kitab salinan di pasar manuskrip saat itu karena sirkulasi buku cetakan masih sangat terbatas tidak seperti sekarang.

Pada awal penulisan, kitab kitab tersebut ditulis untuk pembaca yang sudah tidak memiliki kesulitan untuk membaca aksara Arab, jadi bagi penulisnya memberikan harakat bukanlah kebutuhan utama. Tetapi pada perkembangannya ketika yang belajar Islam di pusat pengajaran Islam tidak hanya berasal dari wilayah yang berbahasa Arab (Arabic speaking countries), tulisan Arab tanpa harakat dirasa tidak lagi memadai. Kitab beraksara Arab menjadi sebuah kitab yang tidak berbunyi, alias tidak terbaca bagi mereka yang menganggap bahasa Arab bukan bahasa ibunya.

Di sisi yang lain, dalam tradisi pengajaran keagamaan Islam, dikenal apa yang disebut ijazah untuk menjaga nilai spiritualitas ilmu pengetahuan. Mereka yang memperoleh ijazah bukan hanya mereka yang memiliki kecerdasan prima dalam pengertian mampu memahami apa yang diajarkan seorang guru, tapi juga yang memiliki perilaku terpuji dan berakhlaq karimah, dan juga memiliki kedekatan spiritual dengan guru. Ijazah saat itu merupakan bukti kedekatan seorang murid dengan gurunya, dan ikatan individual antar keduanya. Ijazah merupakan pemberian otoritas guru kepada muridnya untuk menjadi penyambung lidah keilmuannya dan hak menyebar luaskannya. Salah satu kemampuan dasar seseorang untuk memperoleh ijazah dari gurunya adalah kemampuan membaca kitab yang dipelajari secara benar. Dari sini lah kebutuhan akan harakat muncul.

Snouck Hurgronje saat tinggal di Makkah, menuliskan fenomena pengajaran Islam dikalangan pelajar dari tanah Jawah, seperti halnya juga yang ditulis di risalah kecil yang anonym dalam Or. 7111. Bahwa pada saat mengajarkan kitab keagamaan Islam, seorang guru membacakannya di hadapan para muridnya, kemudian sang murid memberi harakat pada kitab yang dipelajarinya. Salah satu jenis ijazah yang diberikan oleh adalah ijazah qira'a (ijazah untuk membacakan) yang mengharuskan seorang murid untuk memiliki kemampuan membaca kitab persis seperti bacaan gurunya. Inilah awal muasal kenapa Manuskrip Islam yang kini masih tersimpan di banyak pondok pesantren memiliki harakat.

Harakat di dalam manuskrip muncul dalam jumlah yang beragam. Dalam naskah Al-Qur'an harakat diberikan secara detil di setiap kata, bahkan huruf. Ini disebabkan untuk menjaga kesalahan membaca. Al-Qur'an yang suci harus dijaga dari kesalah bacaan, karena kesalahan baca akan mengakibatkan ksalahan arti. Oleh sebab itu Naskah Al-Qur'an yang sekarang masih tersimpan di lingkungan pesantren pada khususnya dan di tempat lain di Indonesia selalu memiliki harakat karena tujuan ini. Sedangkan Manuskrip Islam non Qur'an memiliki harakat yang berbeda, ada yang diberi harakat secara komplit, ada di bagian bagian tertentu, ada yang hanya di akhir setiap kata. Fenomena ini bisa memunculkan interpretasi yang beraagam. Pertama bisa jadi semakin banyak harakat yaang diberikan pada sebuah manuskrip semakin lemah bahasa Arab yang dimiliki seorang pelajar. Kedua, Semakin banyak harakat yang diberikan semakin rajin seorang murid dalam mendengarkan bacaan guru. Ketiga, semakin banyak harakat semakin tinggi "nilai" sebuah kitab dimata seorang murid. Mungkin anda bisa menambahkan interpretasi lain dari fenomena ini.
Surabaya, 13 Mei 2013
Salam,
Amiq Ahyad  


Rabu, 08 Mei 2013

Manuskrip Islam Pesantren: Sebuah Peradaban yang terabaikan

Ada dua atribute atau na't atau kata sifat yang menempel pada manuskrip yang akan menjadi kajian blog ini, yaitu Islam dan Pesantren ini juga yang membedakan Manuskrip Islam Pesantren (MIPES) dengan manuskrip keagamaan Islam lainnya yang kini tersimpan di banyak kolektor, museum maupun perpustakaan di banyak kota di Indonesia.

Atribut pertama adalah Islam. Mengapa harus Islam dan bukan lainnya? Ada empat alasan sebuah manuskrip dianggap sebagai Manuskrip Islam.
Pertama. manuskrip tersebut ditulis atau disalin oleh seorang muslim.
Kedua, manuskrip tersebut berisi tentang ajaran keagamaan Islam.
Ketiga, pada saat manuskrip itu ditulis maupun disalin dibaca oleh orang Islam.
Ketiga, manuskrip tersebut ditulis maupun disalin untuk tujuan yang jelas, yaitu untuk mempelajari agama Islam.

Atribut kedua adalah Pesantren. Meskipun kata "pesantren" merupakan kata benda, tapi kata tersebut saya anggap sebagai sebuah konsep peradaban. Manuskrip ini adalah produk panjang dari dinamika intelektual di lingkungan pesantren dan pada perkembangan berikutnya mewarnai intelektualitas dunia pesantren. Terdapat dua alasan mengapa saya memberi atribut pesantren pada sebuah manuskrip.
Pertama, manuskrip tersebut di tulis di pesantren.
Kedua, manuskrip tersebut kini disimpan di pondok pesantren.

Tentu saja tidak semua manuskrip yang ditemukan di lingkungan pondok pesantren bisa dianggap sebagai manuskrip. Tetapi ada tiga aspek yang menguatkan dugaan kita bahwa naskah tersebut adalah benar Manuskrip Islam Pesantren. Yang saya maksud dengan tiga elemen adalah
1. Vokalisasi atau harakat.
2. Interlinear Meaning atau makna jenggotan
3. Catatan Pinggir (Marginal Notes)

Dri ketiga elemen itulah sebuah manuskrip berbicara dengan bahasanya sendiri bahwa dia diproduksi oleh kebudayaan pesantren dan menjadi bukti primer yang otentik bahwa pesantren sebagai subkultur pernah membentuk peradaban yang unik dan seringkali kita abaikan atau kita pandang dengan sebelah mata.
Salam,
Amiq Ahyad

Merawat Khazanah Pesantren

Blog ini akan saya jadikan semacam diary perjalanan saya dalam melestarikan Khazanah Intelektual Pesantren yang berwujut Manuskrip Islam. Salah satu poin yang akan saya posting adalah resensi atas isi dari manuskrip tersebut dari aspek filologis maupun kodikologis. Sehingga akan mirip menjadi embrio Katalog Manuskrip Islam Pesantren Kalau sampai hari ini saya memiliki 657 teks yang saya temukan di lima pondok pesantren di propinsi Jawa Timur bisa dibayangkan bagaimana warna blog ini. Tentu saja di masing masing teks akan saya sertakan satu atau dua digital faksimail, karena memang saya memiliki kesemuanya.

Kalau saya menulis setiap jum'at maka blog ini akan berwajah mirip lembaran Jum'at yang sering kita temui di masjid-masjid. Tapi saya tidak memiliki tujuan seperti itu meskipun suatu saat akan muncul kemiripan kemiripan yang mungkin tidak bisa saya hindari.

Akhirnya saya mengucapkan selamat membaca halaman halaman berikutnya, semoga blog ini bermanfaat bagi peminat kajian Filologi dan Kodikologi Islam di Indonesia.

salam,
Amiq Ahyad