Saya tidak pernah berhenti meyakini bahwa apa yang dihasilkan sebuah masyarakat merupakan produk peradaban mereka yang unik. Peradaban mereka akan dipengaruh konteks waktu, kondisi sosial kemasyarakatan dimana sebuah peradaban tersebut dihasilkan. Oleh sebab itu, masing masing masyarakat akan memproduksi sebuah peradaban yang unik dan merupakan ciri mereka. Keunikan inilah yang pada akhirnya membentuk peradaban yang beragam. Tentu saja, tidak ada satupun peradaban ummat manusia yang berbeda seratus persen berbeda dari peradaban lainnya. Yang percaya konsep superioritas dan inferioritas budaya mungkian akan mempertanyakan siapa yang mempengaruhi dan siapa yang mempengaruhi. Bisa dipastikan, setiap masyarakat dengan keunggulan budaya yang diyakini, akan menganggap bahwa budaya mereka yang dominan dan mempengaruhi, sedangkan budaya masyarakat lainnya adalah resesif yang dipengaruhi. Tetapi ada perspektif yang lebih setara adalah munculnya beberapa kesamaan budaya menjadi bukti sosial bahwa sebuah masyarakat, pada suatu masa pernah melakukan mobilitas horizontal. Mobilitas horizontal itulah yang menjadi penyebab interaksi budaya dan saling memberi dan menerima (cultural exchange). Proses pertukaran peradaban itu yang nampak ketika kita menemukan adanya kemiripan budaya.
Kemiripan bukan berarti sama. Tetap saja kita bisa menemukan keunikan yang menjadi faktor yang membedakan. Dan itu adalah wajar. Rekonstruksi atas keunikan-keunikan itu kemudian bisa dipergunakan untuk membentuk sebuah identitas sosial dan kebudayaan masyarakat. Kegagalan untuk merekonstuksi keunikan itulah yang pada akhirnya hanya memunculkan identitas bayangan (imagined identity) yang tidak memiliki basis argumen yang kokoh.
Sebagai salah satu ekspresi kebudayaan, cara penulisan aksara pegon ternyata juga begitu. Masing masing memiliki cara menulis aksara pegon yang berbeda. Beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya menemukan perbedaannya. Kasus penulisan kata "puniko". Pada naskah yang tersimpan di desa Keranji, Lamongan, kata tersebut ditulis dengan tiga aksara Arab: Fa, Nun dan Kaf. Sedangkan naskah yang tersimpan di Tegalsari kata tersebut ditulis dengan lima aksara Arab: Fa, Waw, Nun, Kaf dan Alif. Perbedaan penulisan dalam dua naskah yang berasal dari dua daerah berbeda tentu saja bisa dianggap bahwa yang satu benar dan yang lain salah. Tapi pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang membuat standar penulisan aksara pegon? Kalaulah ada standarisasi penulisan pegon, atas apa proses standarisasi dilakukan?
Perbedaan cara penulisan adalah satu dari sekian ekspresi berperadaban sebuah masyarakan pada periode tertentu. Membaca manuskrip secara lebih teliti tidak mustahil kita akan menemukan keunikan keunikan lainya. Juga tidak mustahil kita akan menemukan perbedaan cara menterjemahkan. Merekonstruksi apa yang pernah ditulis pendahulu kita di masa lalu bisa dipastikan memunculkan wajah peradaban para pendahulu kita. Mengumpulkan serpihan-serpihan tersebut akan menjadi peradaban kita yang selama ini kita abaikan. Itulah identitas sosial masyarakat Islam Jawa yang bisa kita setarakan dengan identitas sosial lain yang dimiliki masyarakat dunia.
Surabaya, 16 Juni 2013
Amiq Ahyad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar