Sebelum saya memulai
untuk memaparkan Katalog Manuskrip Islam Pesantren, saya akan paparkan presedur
yang telah saya lakukan dalam menyusun katalog ini. Prosedur tersebut merupakan
proses belajar yang saya lakukan sewaktu memperoleh kesempatan belajar di
Universitas Leiden Belanda, selama lima tahun. Bimbingan yang saya peroleh dari
Prof. Witkam selama menjadi mahasiswanya menjadi pengalaman akademis yang
membekas dan sulit terhapus.
Untuk menyusun sebuah
katalog yang terdiri dari ratusan teks (judul) seseorang akan mengadapi pada
sebuah problem konsistensi penulisan, seperti konsistensi penulisan nama
penulis, penyalin, judul naskah. Tentu saja untuk menghindari kompleksitas persoalan
konsistensi, seseorang bisa mengabaikan pilihan untuk mengabaikan tuntutan konsistensi
dalam penulisan. Tetapi yang terjadi adalah ketidak-nyamanan pembaca dalam
membaca katalog yang akan kita terbitkan.
Sebuah koleksi seringkali memilik beberapa teks yang memiliki judul,
pengarang, penyalin yang sama. Untuk kasus seperti inilah konsistensi penulisan
amat diperlukan. Kerumitan konsistensi penulisan ini dapat dicarikan solusi dengan
membuat sebuah master file. Master file ini kita buat dalam sebuah dokumen
tersendiri yang berisi informasi standart tentang teks yang akan kita jelaskan.
Sebagai contoh: Katalog MIPES memiliki beberapa teks dengan judul Al-‘Awāmil karya Al-Jurjānī yang merupakan slah
satu kitab favorit untuk pengajaran di bidang ilmu Nahw di lingkungan pondok
pesantren sekitar abad ke 18-20.Ketidak konsistenan kita dalam menulisan data
kodikologis maupun data filologis mungkin saja terjadi bila kita memiliki
naskah Al-‘Awāmil dalam jumlah yang lebih dari sepuluh buah. Master file
yang akan kita buat akan memudahkan untuk seseorang untuk tetap konsisten dalam
memberikan data dari naskah yang akan kita paparkan. Data yang ada dalam master
file tersebut kemudian dapat kita salin di tempat yang kita inginkan.
Inkonsistesi kedua yang seringkali terjadi di
katalog yang telah diterbitkan adalah dalam hal sistem alih tulisan
(transliterasi). Kita bisa memilih salah satu sistem transliterasi yang tersedia
yang kita inginkan. Tidak ada sistem translitersi yang lebih baik dari sistem
lainnya. Sistem transliterasi merupakan konvensi yang ditentukan oleh sebuah
lembaga ilmiah, atau wilayah secara arbiter. Menurut saya, sistem translitersi
yang baik adalah bila kita menerapkan secara konsisten dalam penulisan kita dan
sistem tersebut lazim dipergunakan minimal di percetakan yang akan menerbitkan
katalog kita. Sistem transliterasi ini diperlukan sebab Manuskrip yang akan
kita sajikan adalah beraksara Arab, sedangkan pembaca kita mungkin saja tidak
terlalu akrab dengan aksara Arab, sehingga sistem transliterasi menjadi sangat
membantu bila tulisan kita berorientasi pada pembaca. Lembaga kerja sama
Indonesia-Belanda untuk kajian Islam (INIS) pernah menerbitkan sebuah buku
khusus tentang berbagai sistem transliterasi yang ada dan dipergunakan di
berbagai lembaga ilmiah di dunia. Kita bisa memilih salah satu dari sistem
tersebut dan menerapkannya secara konsisten dalam katalog yang akan kita
terbitkan.
Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa slah
satu problem penyusunan sebuah katalog adalah memberikan data filologis.
Sebaiknya penyusun katalog meminimalkan interpretasinya dalam memberikan data
filologis. Tapi justru dari sinilah problematika penyusunan sebuah katalog
bermula. Pada banyak kasus, naskah yang kita temukan tidak memiliki informasi
yang memadai untuk kita dalam memberikan data filologis yang rinci. Hal ini
seringkali penyalin tidak sempat mencantumkan judul naskah yang disalin, atau
hanya memberikan judul sesuai dengan nama yang lazim dikenal oleh masyarakat
setempat dimana naskah tersebut disalin. Kitab Umm al-Barāhīn karya Yūsuf Al-Sanūsī, umpamanya, di kalangan santri
Jawa pada abad ke 18-20 seringkali disebut al-Durra. Selain itu seringakali naskah yang kita temukan tidak dalam keadaan
lengkap. Ada yang hilang bagian awalnya, ada yang hilang bagian akhirnya atau
bahkan yang tersisa hanya bagian tengahnya. Untuk itu identifikasi kalimat
pertama yang ada, biasanya setelah ungkapan doksologi (kalimat taḥmīd
dan pujian kepada Allah dan ṣalawat kepada kanjeng nabi Muhammad) tidak
jarang menjadi petunjuk penting untuk memberikan data filologis yang kita
inginkan.
Pada bagian sebelumnya saya juga telah
menyebutkan beberapa rujukan yang bisa membantu kita untuk memberikan data
filologis. Kesemuanya adalah sebagian dari sekian banyak literatur yang bisa
dipertimbangkan untuk dirujuk saat akan menyusun katalog koleksi manuskrip
beraksara Arab. Tentu saja masih banyak katalog manuskrip beraksara Arab yang
bisa dijadikan rujukan. Dengan membandingkan informasi yang kita miliki dengan
informasi sejenis di beberapa literatur tersebut di atas kita akan menghindari
dari memberikan data filologis imajiner (panthom information) dari
naskah yang hendak kita susun. Sedapat mungkin kita meminimalkan tingkat
interpretasi kita terhadap sebuah naskah dan membiarkan naskah tersebut berbicara
dengan bahasanya sendiri.
Salah satu cara konvensional yang juga layak
untuk dipertimbangkan adalah dengan mencatat data dengan menggunakan kartu
katalog. Kartu yang memili dua sisi dapat dipergunakan sebagai berikut. Sisi
depan bisa dipergunakan untuk mencatat data filologis dan kodikologis yang
diberikan sebuah naskah naskah, sedangkan sisi lainnya dapat dipergunakan untuk
mencatat sumber informasi berasal. Selanjutnya kartu katalog tersebut bisa
diurutkan berdasarkan urutan abjad dari judul teks yang telah dimiliki.
Prosedur kerja seperti ini tampaknya sedikit
ruwet, tapi bila hendak membuat katalog dari sebuah koleksi naskah yang
berjumlah ratusan, maka kita tidak punya pilihan lain kecuali mempergunakan cara
tersebut. Jika tidak, maka keruwetan pekerjaan akan menunggu di tengah
pekerjaan berikutnya.
Singkatan
Dalam menyusun Katalog, saya kelompokkan MIPES
berdasarkan lokasi penyimpanan atau koleksi tersebut berasal Keranji (Kr), Coper (Cpr), Tegalsari (Ts), Langitan (Lang)
dan Senori (Snr).
MIPES dikelompokkan dari aksara yang
dipergunakan. Secara Umum terdapat tidak
aksara yang dipergunakan untuk menulis MIPES; pertama, aksara Arab (Ar),
apabila sebuah masuskrip ditulis maupun disalin dalam aksara Hijaiyah dan
bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Arab; aksara Pegon (Pgn), apabila aksara yang
dipergunakan adalah aksara Hijaiyah sedangkan bahasa yang dipergunakan adalah
bahasa Jawa; ketika adalah aksara Jawa (Jw).
Selanjutnya sebuah teks akan diberikan nomer urut
registrasi dan urutan teks bila dala sebuah codex terdiri dari lebih satu
naskah. Ada beberapa cara dilakukan penyusun katalog dalam
memberikan urutan nomer registrasi. Ada yang memberikan nomer urut berdasarkan
ukuran sebuah naskah. Dimulai dari naskah berukuran besar hingga naskah yang
berukuran kecil. Ada juga yang memulai dari urutan keberadaan sebuah naskah
pasa sebuah tempat penyimpanan (repository), dimilai yang paling awal dimiliki hingga yang paling akhir. Sebagian
juga ada yang memberi nomer urut secara acak berdasarkan pada urutan pencatatan.
Yang pertama dicatat saat penyusuhan katalog, itulah yang memperoleh urutan
pertama kemudian diteruskan ke urutan berikutnya. Katalog MIPES memakai cara
ketiga. Sedangkan urutas sebuah teks (judul akan ditulis berdasarkan angka urut
dan diletakkan di dalam kurung. Pemakaian angka dan bukan huruf latin untuk
menghindari keterbatan huruf latin, bila jumlah naskah yang terdapat dalam sebuah
codex tebih banyak ketimbang jumlah huruf latin. Jadi Bila dalam Katalog MIPES
terdapat nomer registrasi Lang.Ar05(2) maka itu artinya bahwa naskah tersebut
berasal dari dan kini disimpan di Langitan, ditulis dalam aksara Hijaiyah,
berbahasa Arab, dicatat urutan ke lima dan berada pada urutan kedua dari
sekumpulan naskah yang terdapat pada codex nomer
Lang.Ar05.
Akhirnya Katalog Manuskrip Islam Pesantren akan
dimulai dari Koleksi MIPES yang berasal dari Kabupaten Lamongan (Keranji), kemudian
kabupaten Ponorogo (Coper dan Tegalsari, dan terakhir Kabupaten Tuban (Langitan
dan Senori).
Surabaya, 20 Agustus 2013
Amiq Ahyad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar