Ini adalah note yang pernah saya tulis di page saya STUDI MANUSKRIP pada tanggal 7 April 2013. Saya posting kembali di blog ini sebagai salah satu cara mendokumentasikan supaya lebih banyak dibaca orang, siapa tahu ada manfaatnya.
Al-Qur’an diyakini oleh ummat Islam sebagai salah satu teks yang wajib
dibaca apabila seorang pemeluk ingin tahun ajaran agamanya. Tidak terhitung jumlahnya
proses yang dilakukan oleh ummat Islam untuk melakukan proses penyalinan dari
generasi ke generasi. Sejak abad pertama hijriyah hingga abad ke-lima belas
hijriyah. Awalnya dari bentuk tradisi lisan (hapalan) hingga akhirnya menjadi
tradisi tulis (teks tertulis). Sebagai hasil salinan, teks Al-Qur’an uniknya
diyakini oleh Ummat Islam bebas dari kesalahan. Artinya sebagai teks, AlQuran
yang kita saksikan hari ini berbunyi persis 100 persen dengan apa yang
dibunyikan ummat Islam pada periode Nabi Muhamad. Kalau ummat ditanya tentang
keyakinan teologisnya maka semua akan mengutib firman Allah yang berbunyi ”Innā naḥnu nazzalnā al-dhikrā wa innā lahū laḥāfiḍūn” yang artinya
”Sesungguhnya Aku yang telah menurunkan Al-Dhikrā (sebutan lain dari Al-Qur’ān dan Aku (sendiri)
yang akan menjaganya” Tapi ummat Islam jarang bertanya secara akademis,
Al-Qur’an yang dijaga Allah itu Al-Qur’an sebagai tradisi tulis apa sebagai
tradisi lisan, atau sebagai aksara atau sebagai bunyi, sebagai teks atau
sebagai isi?
Sebai sebuah bunyi, sejak awal diturunkannya hingga ayat terakhir, Al-Qur’an
menjadi bahan hapalan seluruh para sahabat. Hampir semua para sahabat merupakan
pengapal Al-Qur’an, meskipun anggapan ini layak diragukan, sebab tidak semua
sahabat memiliki hapalan yang bagus sehingga layak menjadi seorang rawi hadīth yang reliable
(thiqa). Tetapi historiografi Islam klasik tidak memberikan data siapa
saja para sahabat Rasul yang tidak berminat menghapal Al-Qur’an karena memang
kurang memiliki kekuatan menghapal. Data sejarah ini kemudian dikuatkan oleh
adigum teologis yang mengatakan bahwa ”kullu ṣaḥāba ‘udul” semuah sahabat layak
dipercaya. Dikotomi ummat Islam menjadi dua komunitas teologis, Sunni dan
Syi’ah sebenarnya menjadi argumen sejarah yang menafikan adigum di atas. Bagi
kalangan Syi’ah narasi Islam akan lebih valid bila bersumber pada jalur Ahl
Bait, sedangkan kelompok Sunni cenderung memilih untuk tidak memilih jalur
tersebut. Ilm Jarḥ wa al-Ta‘dīl dalam Muṭalaḥ al-Hadīth juga menjadi bukti akademis
bahwa seorang sahabat tidak semua layak mampu menarasilak ucapan Rasul. Nah sekelompok yang tidak semua layak
menarasikan Hadīth, mestinya juga tidak semua layak menarasikan Al-Qur’an
secara verbal. Sayangnya kita tidak memiliki data sejarah yang memadai siapa
sahabat yang tidak hapal Al-Qur’an.
Ketika terjadi perang Uhud, banyak sahabat yang hapal Al-Qur’an meninggal
menjadi shuhada’ Uhud, Rasulullah mulai berpikir untuk menjadikan Al-Qur’an
dalam bentuk tulisan. Meninggalnya para sahabat yang menghapal Al-Qur’an tentu
saja merisaukan hati Rasulullah, karena itu bisa berarti hilangnya Rasullah
sebagai teks verbal. Semenjak itu kemudian Rasulullah menunjuk beberapa sahabat
untuk menulis apa yang diterima dari Allah lewat malaikat Jibril. Salah satu
sahabat Nabi yang dipercaya sebagai penulis wahyu adalah Zayd bin Thābit. Alqur’an semenjak itu
tidak lagi merupakan teks verbal yang dihapal para sahabat melainkan juga teks
tertulis diatas media yang ada pada saat itu. Untuk menghindari tercampur
baurnya antara dua teks suci: Al-Qur’an dan Al-Sunna, maka Rasulullah melarang
para sahabat untukmenuliskan darinya kecuali Al-Qur’an. Artinya penulis Hadith
Nabi dilarang oleh Nabi sendiri saat dia masih hidup. Sebagai teks tertulis,
Al-Qur’an jelas lebih tua meskipun sebagai teks verbal kedua teks suci tersebut
berumur sama tua.
Pada awalnya Al-Qur’an ditulis di atas media apa adanya, dan aksara yang
dipergunakan pada saat itu. Ditulis di atas tulang belulang, papan, kemudian
dengan media yang lebih baik yaitu kulit menjangan yang disamak kasar
(parchment). Aksara yang dipergunakan juga sederhana, kufi tanpa ada titik dan
vokalisasi. Sebagai teks tulis Al-Qur’an mungkin mengalami perubahan, dari
media yang dipergunakan untuk penulisan di atasnya, jenis aksara hingga jenis
khaṭ
yang dipakai untuk menulisnya. Tetapi sebagai teks verbal, Al-Qur’an relatif
lebih homogen alias nyaris sama, sebab menghapal Al-Qur’an merupakan tradisi
keagamaan yang ditransmisikan dari generasi ke generasi lainnya.
Keragaman Al-Qur’an sebagai teks tulis nampak jelas ketika kita meneliti
banyak naskah salinan Al-Qur’an di belahan dunia manapun. Keragaman yang paling
sederhana tentu saja bisa dilihat dari aspek kodikologis. Aspek kodikologis
adalah hal hal yang terkait dengan jenis dan warna tinta , jenis khat, jenis
kertas, teknologi penjilidan dan lain sebagainya. Aspek kodikologis ini erat
hubungannya dengan kebudayaan lokal dimana Al-Qur’an disalin. Keragaman yang
lain bisa dilihat dari aspek filologis. Di banyak tempat pada naskah salinan
Al-Qur’an terdapat tidak sedikit kesalahan tulis, meskipun kemudian kesalahan
tersebut diberi pembetulan oleh penyalin berikutnya. Kesalahan tersebut ada
yang berupa hilangnya beberapa kata, bisa juga merupakan penjelasan tentang
perbedaan cara menulis sesuai dengan jenis cara membaca Al-Qur’an (Al-Qirā’a al-Sab‘a).
Lembaga Pentashihan Al-Qur’an yang berada dibawah naungan Kementrian Agama
RI merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk mendekatkan Al-Qur’an sebagai
teks tulis dan teks verbal. Meskipun lembaga ini adalah lembaga yang paling
otoritatif, tidak ada satupun teks tulis Al-Qur’an yang dianggap paling
reliable untuk dijadikan rujukan dalam mentashihkan. Dalam mentashih mereka
tidak melakukan proses kolasi. Yang mereka lakukan adalah mencocokkan antara
teks verbal dengan teks tulis yang hendak naik cetak. Di sinilah urgensinya
lembaga pendidikan yang mengkhususkan peserta didiknya untuk menghafal
Al-Qur’an.
ã Amiq Ahyad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar