Catatan:
Tulisan ini merupakan catatan (note) yang pernah saya tulis di akun facebook saya. Sengaja saya daur ulang supaya bisa dibaca oleh kawan kawan yang belum sempat menjadi friend-list saya. Selamat membaca semoga bermanfaat.
Pendahuluan
Jawa Timur, memiliki pesantren dengan jumlah terbesar bila dibandingkan dengan propinsi propinsi lainnya di Indonesia. Sedangkan menurut kajian sejarah maupun antropologis, pesantren sejak berdirinya merupakan pusat pembelajar vis a vis terhadap lembaga pendidikan sekular yang diciptakan oleh pejajah kolonial Belanda. Sebagai pusat pembelajaran, pesantren merupakan simpul bagi transmisi ilmu-ilmu ke Islaman yang pernah berkembang di belahan dunia Islam lainnya. Tradisi intelektual pesantren, tidak hanya mengasilkan karya karya penjelas (sharḥ, ḥāshiya) tetapi juga melahirkan karya orisinal yang berbeda dengan karya karya intelektual yang pernah ditulis oleh cendekiawan muslim sejawat di belahan dunia lainnya. Meski pesantren, secara kelembagaan pernah menjadi pusat kegiatan akademis yang par exelance, tidak semua pesantren tua di propinsi Jawa Timur masih memsisakan warisan intelektual dalam bentuk warisan tertulis. Maka kebesaran pesantren sebagai pusat pengajaran hanya bisa direkonstruksi lewat kajian antropologis, dan sejarah lisan.
Meski demikian, beberapa pesantren masih menyimpan warisan tertulisnya. Pesantren tersebut diantaranya adalah. Pondok Pesantren Langitan di Widang, Tuban; Pondok Pesantren Dar al-Ulum, Senori Tuban, Pondok Pesantren Tarbiya al-Ṭalaba, Keranji, Paciran, Lamongan, Pondok Pesantren Tegalsari, Jetis Ponorogo, dan Pondok Pesantren Al-Ishaqi, Coper Ponorogo. Memang kelima pondok Pesantren tersebut tidak semuanya masih ada hingga sekarang. Pondok Pesantren Tegalsari, Pondok Pesantren al-Ishaqi di Ponorogo, dan Pondok Dar al-Ulum hingga hari ini, keberadaannya hanya tinggal sejarah semata. Tetapi paling tidak, sebagai pusat kegiatan ilmiah di masa lalu, keberadaannya masih bisa kita rekonstruksi dari manuskrip yang masih tersimpan rapi di kelima pondok pesantren tersebut.
Hilangnya jejak tertulis untuk merekonstruksi pesantren sebagai pusat kegiatan akademis di masa lalu bukanlah tanpa sebab. Di lingkungan pesantren tidak jarang manuskrip merupakan barang yang harus diwari. Karena barang warisan bisa jadi sebagian manuskrip diwarisi salah satu keturunan yang tidak menyadari nilai informasi yang terkandung dalam manuskrip tersebut. Tidak hanya itu, tidak jarang sang pewaris manuskrip tidak memiliki kemampuan untuk merawar dan membaca apa yang diwaarisinya. Di sisi lain studi filologi di kalang pengkaji Islam memang belum nampak geliatnya. Sehingga faktor eksternal ini tidak menjadi impetus bagi upaya perawatan manuskrip di lingkungan pondok pesantren. Maka tidak jarang penelusuran keberadaan manuskrip Islam di lingkungan pondok pesantren dihadapkan pada kenyataan hilangnya manuskrip di lingkungan pesantrenyang dianggap besar. Hilangnya manuskrip ini bisa diakibatkan oleh beberapa faktor; pertama, telah dibakar oleh pemiliknya karena telah rusak dimakan rayap; kedua, lenyap karena dipinjam untuk dipamerkan tanpa dikembalikan; ketiga, dijual kepada kolektor barang antik.
Manuskrip Islam Pesantren bisa diibaratkan sebagai jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa dimana pondok pesantren pernah menjadi pusat kegiatan ilmiah di masa lalu. Ia menjadi bukti sejarah yang mampu membantu untuk merekonstruksi sejarah dan peradaban yang pernah terbentuk oleh aktifitas akademis di lingkungan pesantren. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana kita cara membacanya? Apakah membaca manuskrip sama dengan membaca buku yang sudah tercetak? Tulisan ini ini dibuat untuk memberi jawaban atas dua pertanyaan utama tersebut.
Membaca Manuskrip Islam
Saya akan memulai dari sebuah ilustrasi pengalaman saya saat membaca Manuskrip Islam yang aslinya tersimpan di desa Keranji. Manuskrip tersebut ditulis dalam huruf Arab Pegon. Artinya, manuskrip tersebut ditulis dengan aksara Arab tetapi dalam bahasa Jawa, sehingga terdapat modifikasi huruf hijaiyah untuk menulis aksara ng, ny, dh, e, dan lain lain. Manuskrip tersebut tidak memiliki informasi yang bisa dindikasikan sebagai judul manuskrip. Tetapi dari kalimat pertama, tim dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya mencoba memberi judul dengan ”Ilmu Kasepuhan”. Dalam kalimat pertama di sebutkan, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ”ketahuilah ini adalah ilmu Kasepuhan yang berasal dari Sunan Giri Kedaton”. Pada kalimat selanjutnya disebutkan ”barang siapa yang giat mengamalkannya maka jasadnya akan tetap utuh di dalam kubur”
Sekilas membaca dan berhenti hanya pada dua kalimat pertama kemudian melanjutkan pada kesimpulan bahwa Sunan Giri mewariskan ilmu pengawetan mayat akan menyesatkan. Sebab bila kita membaca lebih teliti pada kalimat dan halaman berikutnya, manuskrip tersebut justru lebih layak untuk dikategorikan pada manuskrip yang berisi ajaran tasawuf, ketimbang ajaran tentang ilmu pengobatan, atau ilmu pengawetan mayat.
Tetapi dengan memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi kesehatan lainnya, seperti Quantum Touch (QT) dan Spiritual and Emotional Freedom Technique (SEFT) kita memperoleh kesimpulan yang sedikit lebih kompleks. Manuskrip dengan nomer registrasi Kr.Pgn_005c, ternyata menyamarkan pelajaran pengobatan berbasis energi chakra seperti yang dikenal dalam tradisi Ayurveda dan dikembangkan masyarakat India.
Secara fisik manuskrip memang sama dengan buku. Yang membedakan, manuskrip masih ditulis dengan tulisan tangan, sedangkan buku sudah dicetak dengan teknologi percetakan. Tetapi kalau kita baca lebih jeli ke detail yang ada dalam manuskrip, maka banyak aspek yang ada dalam manuskrip perlu dibaca.
Sebagai produk peradaban, paling tidak terdapat dua askpek yang dikandung oleh sebuah manuskrip. Kedua aspek tersebut adalah aspek kodikologis, dan aspek filologis. Kodikologi menekankan aspek fisik sebuah manuskrip; sedangkan filologi menekankan kajian teks dari sebuah manuskrip. Aspek fisik yang dikaji dalam ilmu kodikologi diantaranya adalah, warna tinta, jenis huruf, bahasa, jenis kertas, watermark, teknologi penjilidan, rubrikasi, lay out, sejarah manuskrip itu sendiri. Sedangkan untuk melakukan eksposisi terhadap teks yang ada dalam sebuah manuskrip kita bisa melakukan edisi faksimail, edisi diplomatik, edisi kritis.
Melakukan alih bahasa dalam studi manuskrip tentu saja sah untuk dikerjakan sebagaimana dilakukan bayak filolog seperti Achadiati Ikram, Tujimah atau Kuntoro, tetapi eksposisi semacam ini kurang menempatkan sebuah manuskrip pada konteks sejarah dan pedaban yang melingkupinya. Membaca sebuah manuskrip dalam konteks sejarah akan mampu merekonstruksi peradaban sebuah masyarakat dimana manuskrip tersebut diproduksi (aspek geo-kultural) tetapi merekonstruksi peradaban pada sebuah periode tertentu (aspek kronologis). Oleh sebab itu membaca sebuah manuskrip hampir bisa dikatakan mustahil bila hanya dengan bantuan satu disiplin ilmu pengetahuan saja, seperti bahasa.
Kalau melihat lebih dekat maka manuskrip memberi informasi sangat detil. Melakukan perbandingan dengan beberapa manuskrip yang ditulis pada periode yang berbeda, seorang paleografer akan memiliki data perkembangan jenis tulisan yang berkembang di sebuah kawasan dan periode tertentu. Pembuatan database tentang watermark, umpamanya, dapat menjadi pintu untuk merekonstruksi hubungan perdagangan antara sebuah wilayah dengan dunia luar. Studi terhadap rubrikasi dan illuminasi akan menjadi data sejarah seni yang pernah berkembang di sebuah wilayah. Menelisik teknologi penjilidan yang masih tersisa akan menjadi bukti awal bagaimana tahap awal teknologi perbukuan dikenal sebuah masyarakat. Sejarah manuskrip yang diberikan pada kolofon sebuah manuskrip akan menjadi bukti awal dari upaya rekonstruksi awal sebuah tradisi intelektual di sebuah periode tertentu.
Dari aspek filologis, fungsi harakat, pola terjemahan dan ini catatan pinggir juga belum banyak dilakukan oleh para filolog yang menekuni manuskrip Islam. Studi yang mendalam tentang pola pemberian harakat akan mengungkap banyak hal seperti interaksi pemakai manuskrip dengan manuskrip yang dibacanya. Cara penterjemahan juga bisa dibuat data awal sejarah tradisi membaca manuskrip. Apalagi konten dari catatan pinggir akan mengungkapkan upaya kontekstualisasi ajaran Islam yang terdapat dalam kitab kuning dalam konteks lokal.
Oleh sebab itu membaca manuskrip hendaknya menjadi proyek peradaban yang dilakukan secara interdisipliner. Terlalu banyak hal yang berhubungan dalam melakukan studi manuskrip sehingga untuk membacanya secara komprehensip tidak mungkin bila hanya dilakukan oleh seoerang filolog atau kodikolog.
Surabaya, 11 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar