Di kalangan santri di wilayah Jawa Tengah, ada dua istilah yang
dipergunakan untuk menyebut istilah interlinear notes ini. Yang pertama
adalah Jambulan dan Jenggotan. Istilah pertama diperuntukkan bila
catatan berada diatas baris dari naskah utama, sedangkan Jenggotan
diperuntukkan bagi catatan yang berada di bawah baris naskah utama. Meskipun
keduanya menunjukkan catatan diantara dua baris utama, dari isi dan fungsinya
istilah kedua lebih cocok untuk istilah interlinear trannslation. Interlinear
translation adalah arti yang diberikan pennyalin manuskrip Islam Pesantren
atas kata kata yang tidak dipahaminya
dari sebuah naskah utama (al-matn). Sesuai artinya, arti dari kata yang
sulit tersebut ditulis diantara dua baris dari naskah utama.
Dari sisi jenis tulisan (al-khaṭṭ) naskah utama dan interlinear
notes memiliki jenis yang bebeda. Naskah utama pada manuskrip Islam
Pesantren seringkali ditulis dengan khaṭṭ jenis Naskh, sedangkan
interlinear meaning seringkali ditulis dengan
jenis Ruq‘a. Kedua jenis catatan tersebut ditulis dengan tulisan
miring (slanting) dengan sudut kemiringan 45 derajat.
Dari sisi bahasa kedua jenis teks dalam manuskrip Islam Pesantren juga
memiliki perbedaan bahasa yang dipergunakan. Mayoritas manuskrip Islam
Pesantren merupakan salinan naskah yang sama yang pernah ada di pusat
pengajaran Islam di Timur Tengah, sehingga mayoritas bahasa yang dipergunakan
untuk menulis naskah utama adalah bahasa Arab. Jambulan yang seringkali
berfungsi memberikan padanan kata ata keterangan singkat terhadap naskah utama
seringkali juga ditulis dalam bahasa Arab. Sebaliknya Jenggotan seringkali
ditulis dalam bahasa lokal. Bila naskah disalin di kawasan Jawa, biasanya
Jenggotan ditulis dalam bahasa Jawa, begitu juga bila naskah Islam ditulis di
kawasan lainnya seperti Madura, Makasar, atau kawasan geografis lainnya.
Sebagaimana penambahan vokalisasi pada naskah utama, penambahan interlinear
notes erat hubungannya dengan tradisi pengajaran Islam di lingkungan pondok
pesantren. Tradisi pengajaran ini diadopsi dari tradisi pengajaran ilmu-ilmu
keagamaan Islam di Timur Tengah. Pada tulisan singkat saya sebelumnya bahwa
awalnya seorang guru akan membacakan naskah utama di hadapan para murid dan
para urid kemudian memberi harakat padfa teks yang belum dipahami. Kemudian
sang guru mengartikan kalimat yang dianggap sulit kedalam bahasa ibu para
muridnya. Bila para murid berasal dari Jawa maka naskah keagaman yang dibaca
diberi jenggotan dalam bahasa Jawa. Begitu juga bila sang murid berasal dari
Jawa Barat, Padang, Makasar, Madura dan daerah lainnya. Tradisi ini bisa dengan
jelas dibaca dalam naskah yang berjudul Tarājim yang kini tersimpan
dengan rapi di perpustakaan Universitas Leiden dengan nomer registrasi Or.
7111.
Or.7111_f. 11
Tambahan interlinear notes pada naskah utama tentu saja bisa ditafsirkan
secara beragam. Pertama, munculnya banyak jenggotan menunjukan tingkat
penguasaan seorang murid terhadap bahasa Arab. Semakin banyak kosa kata bahasa
asing yang dikuasai oleh seorang murid maka semakin sedikit jenggotan yang
ditulis oleh sorang murid selama proses pembelajaran. Terkait dengan
interpretasi pertama, munculnya sejumlah jengotan maupun jambulan berhubungan
dengan tingkatan seorang murid. Semakin tinggi tingkatan dengan sedirinya kosa
kata bahsa asing yang dikuasai seorang murid akan semakin banyak. Maka jumlah jenggotan
maupun jambulan pada naskah yang disalin akan semakin sedikit. Kemungkinan
ketiga adalah posisi yang diambil seorang murid pada proses pembelajaran. Murid
yang berada di lingkaran pertama akan mendengar lebih jelas apa yang sedang
disampaikan seorang guru pada proses pembelajaran. Sedangkan murid yang berada
di lingkarang kedua, ketiga dan selanjutnya akan semakin kurang jeli mendengar
aa yang sedang disampaikan gurunya. Dengan demikian, semakin jelas seorang
murid mendengar apa yang disampaikan gurunya maka akan semakin banyak catatan
yang dicatat pada naskah yang sedang dimilikinya.
Masih ada kemungkinan keempat bila dihubungkan dengan tradisi pembelajaran
ilmu-ilmu keagamaan Islam. Di Pondok Pesantren Lasem umpamanya, kyai Maimun
Zubair melarang muridnya untuk memberikan catatan berlebihan pada kitab yang
sedang dipelajarinya. Larangan ini bertujuan agar pengajaran sebuah kitab bisa
berlangsung dengan cepat. Sedangkan di Pondok Pesantren Langitan justru
memiliki tradisi yang berlawanan. Kyai Soleh kemudian dilanjutkan oleh Kyai
Abdullah Faqih menyarankan kepada muridnya untuk memberikan jenggotan sebanyak
mungkin sehingga di masa mendatang sang murid memiliki pemahaman yang benar
terhadap sebuah kitab yang telah mereka pelajari.
Lang.Ar03(2)_f.25a.
Jenggotan inilah di masa kini menjadi penanda utama asal sebuah naskah.
Bila jenggotan ditulis dalam bahasa Jawa huruf pegon maka hampir bisa
dipastikan naskah yang ditemukan berasal dari tanah Jawa atau disalin orang
yang memiliki interaksi dengan kultur Jawa.
Surabaya, 14 Mei 2012
Salam,
Amiq Ahyad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar