Kebanyakan Manuskrip Islam Pesantren merupakan salinan dari kitab kuning yang telah dicetak dipasar kitab kuning pada periode sekarang. Dahulu merupakan kitab yang dipelajari para pendiri pesantren saat belajar di Timur Tengah. Yang saya maksud dengan Timur Tengah adalah pusat kegiatan pengajaran Islam di kawasan gepgrafis di atas seperti Makkah dan Madinah di Arab Saudi saat kini, Yaman, Al-Azhar di Mesir dan Turki. Mereka menyalinnya, atau membeli kitab salinan di pasar manuskrip saat itu karena sirkulasi buku cetakan masih sangat terbatas tidak seperti sekarang.
Pada awal penulisan, kitab kitab tersebut ditulis untuk pembaca yang sudah tidak memiliki kesulitan untuk membaca aksara Arab, jadi bagi penulisnya memberikan harakat bukanlah kebutuhan utama. Tetapi pada perkembangannya ketika yang belajar Islam di pusat pengajaran Islam tidak hanya berasal dari wilayah yang berbahasa Arab (Arabic speaking countries), tulisan Arab tanpa harakat dirasa tidak lagi memadai. Kitab beraksara Arab menjadi sebuah kitab yang tidak berbunyi, alias tidak terbaca bagi mereka yang menganggap bahasa Arab bukan bahasa ibunya.
Di sisi yang lain, dalam tradisi pengajaran keagamaan Islam, dikenal apa yang disebut ijazah untuk menjaga nilai spiritualitas ilmu pengetahuan. Mereka yang memperoleh ijazah bukan hanya mereka yang memiliki kecerdasan prima dalam pengertian mampu memahami apa yang diajarkan seorang guru, tapi juga yang memiliki perilaku terpuji dan berakhlaq karimah, dan juga memiliki kedekatan spiritual dengan guru. Ijazah saat itu merupakan bukti kedekatan seorang murid dengan gurunya, dan ikatan individual antar keduanya. Ijazah merupakan pemberian otoritas guru kepada muridnya untuk menjadi penyambung lidah keilmuannya dan hak menyebar luaskannya. Salah satu kemampuan dasar seseorang untuk memperoleh ijazah dari gurunya adalah kemampuan membaca kitab yang dipelajari secara benar. Dari sini lah kebutuhan akan harakat muncul.
Snouck Hurgronje saat tinggal di Makkah, menuliskan fenomena pengajaran Islam dikalangan pelajar dari tanah Jawah, seperti halnya juga yang ditulis di risalah kecil yang anonym dalam Or. 7111. Bahwa pada saat mengajarkan kitab keagamaan Islam, seorang guru membacakannya di hadapan para muridnya, kemudian sang murid memberi harakat pada kitab yang dipelajarinya. Salah satu jenis ijazah yang diberikan oleh adalah ijazah qira'a (ijazah untuk membacakan) yang mengharuskan seorang murid untuk memiliki kemampuan membaca kitab persis seperti bacaan gurunya. Inilah awal muasal kenapa Manuskrip Islam yang kini masih tersimpan di banyak pondok pesantren memiliki harakat.
Harakat di dalam manuskrip muncul dalam jumlah yang beragam. Dalam naskah Al-Qur'an harakat diberikan secara detil di setiap kata, bahkan huruf. Ini disebabkan untuk menjaga kesalahan membaca. Al-Qur'an yang suci harus dijaga dari kesalah bacaan, karena kesalahan baca akan mengakibatkan ksalahan arti. Oleh sebab itu Naskah Al-Qur'an yang sekarang masih tersimpan di lingkungan pesantren pada khususnya dan di tempat lain di Indonesia selalu memiliki harakat karena tujuan ini. Sedangkan Manuskrip Islam non Qur'an memiliki harakat yang berbeda, ada yang diberi harakat secara komplit, ada di bagian bagian tertentu, ada yang hanya di akhir setiap kata. Fenomena ini bisa memunculkan interpretasi yang beraagam. Pertama bisa jadi semakin banyak harakat yaang diberikan pada sebuah manuskrip semakin lemah bahasa Arab yang dimiliki seorang pelajar. Kedua, Semakin banyak harakat yang diberikan semakin rajin seorang murid dalam mendengarkan bacaan guru. Ketiga, semakin banyak harakat semakin tinggi "nilai" sebuah kitab dimata seorang murid. Mungkin anda bisa menambahkan interpretasi lain dari fenomena ini.
Surabaya, 13 Mei 2013
Salam,
Amiq Ahyad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar