Senin, 19 Agustus 2013

Katalog Manuskrip Islam Pesantren (3): Metodologi.

Sebelum saya memulai untuk memaparkan Katalog Manuskrip Islam Pesantren, saya akan paparkan presedur yang telah saya lakukan dalam menyusun katalog ini. Prosedur tersebut merupakan proses belajar yang saya lakukan sewaktu memperoleh kesempatan belajar di Universitas Leiden Belanda, selama lima tahun. Bimbingan yang saya peroleh dari Prof. Witkam selama menjadi mahasiswanya menjadi pengalaman akademis yang membekas dan sulit terhapus.

Untuk menyusun sebuah katalog yang terdiri dari ratusan teks (judul) seseorang akan mengadapi pada sebuah problem konsistensi penulisan, seperti konsistensi penulisan nama penulis, penyalin, judul naskah. Tentu saja untuk menghindari kompleksitas persoalan konsistensi, seseorang bisa mengabaikan pilihan untuk mengabaikan tuntutan konsistensi dalam penulisan. Tetapi yang terjadi adalah ketidak-nyamanan pembaca dalam membaca katalog yang akan kita terbitkan.

Sebuah koleksi seringkali memilik beberapa teks yang memiliki judul, pengarang, penyalin yang sama. Untuk kasus seperti inilah konsistensi penulisan amat diperlukan. Kerumitan konsistensi penulisan ini dapat dicarikan solusi dengan membuat sebuah master file. Master file ini kita buat dalam sebuah dokumen tersendiri yang berisi informasi standart tentang teks yang akan kita jelaskan. Sebagai contoh: Katalog MIPES memiliki beberapa teks dengan judul Al-‘Awāmil karya Al-Jurjānī yang merupakan slah satu kitab favorit untuk pengajaran di bidang ilmu Nahw di lingkungan pondok pesantren sekitar abad ke 18-20.Ketidak konsistenan kita dalam menulisan data kodikologis maupun data filologis mungkin saja terjadi bila kita memiliki naskah Al-‘Awāmil dalam jumlah yang lebih dari sepuluh buah. Master file yang akan kita buat akan memudahkan untuk seseorang untuk tetap konsisten dalam memberikan data dari naskah yang akan kita paparkan. Data yang ada dalam master file tersebut kemudian dapat kita salin di tempat yang kita inginkan.

Inkonsistesi kedua yang seringkali terjadi di katalog yang telah diterbitkan adalah dalam hal sistem alih tulisan (transliterasi). Kita bisa memilih salah satu sistem transliterasi yang tersedia yang kita inginkan. Tidak ada sistem translitersi yang lebih baik dari sistem lainnya. Sistem transliterasi merupakan konvensi yang ditentukan oleh sebuah lembaga ilmiah, atau wilayah secara arbiter. Menurut saya, sistem translitersi yang baik adalah bila kita menerapkan secara konsisten dalam penulisan kita dan sistem tersebut lazim dipergunakan minimal di percetakan yang akan menerbitkan katalog kita. Sistem transliterasi ini diperlukan sebab Manuskrip yang akan kita sajikan adalah beraksara Arab, sedangkan pembaca kita mungkin saja tidak terlalu akrab dengan aksara Arab, sehingga sistem transliterasi menjadi sangat membantu bila tulisan kita berorientasi pada pembaca. Lembaga kerja sama Indonesia-Belanda untuk kajian Islam (INIS) pernah menerbitkan sebuah buku khusus tentang berbagai sistem transliterasi yang ada dan dipergunakan di berbagai lembaga ilmiah di dunia. Kita bisa memilih salah satu dari sistem tersebut dan menerapkannya secara konsisten dalam katalog yang akan kita terbitkan.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa slah satu problem penyusunan sebuah katalog adalah memberikan data filologis. Sebaiknya penyusun katalog meminimalkan interpretasinya dalam memberikan data filologis. Tapi justru dari sinilah problematika penyusunan sebuah katalog bermula. Pada banyak kasus, naskah yang kita temukan tidak memiliki informasi yang memadai untuk kita dalam memberikan data filologis yang rinci. Hal ini seringkali penyalin tidak sempat mencantumkan judul naskah yang disalin, atau hanya memberikan judul sesuai dengan nama yang lazim dikenal oleh masyarakat setempat dimana naskah tersebut disalin. Kitab Umm al-Barāhīn karya Yūsuf Al-Sanūsī, umpamanya, di kalangan santri Jawa pada abad ke 18-20 seringkali disebut al-Durra. Selain itu seringakali naskah yang kita temukan tidak dalam keadaan lengkap. Ada yang hilang bagian awalnya, ada yang hilang bagian akhirnya atau bahkan yang tersisa hanya bagian tengahnya. Untuk itu identifikasi kalimat pertama yang ada, biasanya setelah ungkapan doksologi (kalimat taḥmīd dan pujian kepada Allah dan ṣalawat kepada kanjeng nabi Muhammad) tidak jarang menjadi petunjuk penting untuk memberikan data filologis yang kita inginkan.

Pada bagian sebelumnya saya juga telah menyebutkan beberapa rujukan yang bisa membantu kita untuk memberikan data filologis. Kesemuanya adalah sebagian dari sekian banyak literatur yang bisa dipertimbangkan untuk dirujuk saat akan menyusun katalog koleksi manuskrip beraksara Arab. Tentu saja masih banyak katalog manuskrip beraksara Arab yang bisa dijadikan rujukan. Dengan membandingkan informasi yang kita miliki dengan informasi sejenis di beberapa literatur tersebut di atas kita akan menghindari dari memberikan data filologis imajiner (panthom information) dari naskah yang hendak kita susun. Sedapat mungkin kita meminimalkan tingkat interpretasi kita terhadap sebuah naskah dan membiarkan naskah tersebut berbicara dengan bahasanya sendiri.

Salah satu cara konvensional yang juga layak untuk dipertimbangkan adalah dengan mencatat data dengan menggunakan kartu katalog. Kartu yang memili dua sisi dapat dipergunakan sebagai berikut. Sisi depan bisa dipergunakan untuk mencatat data filologis dan kodikologis yang diberikan sebuah naskah naskah, sedangkan sisi lainnya dapat dipergunakan untuk mencatat sumber informasi berasal. Selanjutnya kartu katalog tersebut bisa diurutkan berdasarkan urutan abjad dari judul teks yang telah dimiliki.

Prosedur kerja seperti ini tampaknya sedikit ruwet, tapi bila hendak membuat katalog dari sebuah koleksi naskah yang berjumlah ratusan, maka kita tidak punya pilihan lain kecuali mempergunakan cara tersebut. Jika tidak, maka keruwetan pekerjaan akan menunggu di tengah pekerjaan berikutnya.

Singkatan
Dalam menyusun Katalog, saya kelompokkan MIPES berdasarkan lokasi penyimpanan atau koleksi tersebut berasal Keranji (Kr),  Coper (Cpr), Tegalsari (Ts), Langitan (Lang) dan Senori (Snr).

MIPES dikelompokkan dari aksara yang dipergunakan.  Secara Umum terdapat tidak aksara yang dipergunakan untuk menulis MIPES; pertama, aksara Arab (Ar), apabila sebuah masuskrip ditulis maupun disalin dalam aksara Hijaiyah dan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Arab;  aksara Pegon (Pgn), apabila aksara yang dipergunakan adalah aksara Hijaiyah sedangkan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa; ketika adalah aksara Jawa (Jw).

Selanjutnya sebuah teks akan diberikan nomer urut registrasi dan urutan teks bila dala sebuah codex terdiri dari lebih satu naskah. Ada beberapa cara dilakukan penyusun katalog dalam memberikan urutan nomer registrasi. Ada yang memberikan nomer urut berdasarkan ukuran sebuah naskah. Dimulai dari naskah berukuran besar hingga naskah yang berukuran kecil. Ada juga yang memulai dari urutan keberadaan sebuah naskah pasa sebuah tempat penyimpanan (repository), dimilai yang paling awal  dimiliki hingga yang paling akhir. Sebagian juga ada yang memberi nomer urut secara acak berdasarkan pada urutan pencatatan. Yang pertama dicatat saat penyusuhan katalog, itulah yang memperoleh urutan pertama kemudian diteruskan ke urutan berikutnya. Katalog MIPES memakai cara ketiga. Sedangkan urutas sebuah teks (judul akan ditulis berdasarkan angka urut dan diletakkan di dalam kurung. Pemakaian angka dan bukan huruf latin untuk menghindari keterbatan huruf latin, bila jumlah naskah yang terdapat dalam sebuah codex tebih banyak ketimbang jumlah huruf latin. Jadi Bila dalam Katalog MIPES terdapat nomer registrasi Lang.Ar05(2) maka itu artinya bahwa naskah tersebut berasal dari dan kini disimpan di Langitan, ditulis dalam aksara Hijaiyah, berbahasa Arab, dicatat urutan ke lima dan berada pada urutan kedua dari
sekumpulan naskah yang terdapat pada codex nomer Lang.Ar05.

Akhirnya Katalog Manuskrip Islam Pesantren akan dimulai dari Koleksi MIPES yang berasal dari Kabupaten Lamongan (Keranji), kemudian kabupaten Ponorogo (Coper dan Tegalsari, dan terakhir Kabupaten Tuban (Langitan dan Senori).

Surabaya, 20 Agustus 2013

Amiq Ahyad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar