Kamis, 16 Mei 2013

Al-Qur’an sebagai sebuah Teks


Ini adalah note yang pernah saya tulis di page saya STUDI MANUSKRIP pada tanggal 7 April 2013. Saya posting kembali di blog ini sebagai salah satu cara mendokumentasikan supaya lebih banyak dibaca orang, siapa tahu ada manfaatnya.

Al-Qur’an diyakini oleh ummat Islam sebagai salah satu teks yang wajib dibaca apabila seorang pemeluk ingin tahun ajaran agamanya. Tidak terhitung jumlahnya proses yang dilakukan oleh ummat Islam untuk melakukan proses penyalinan dari generasi ke generasi. Sejak abad pertama hijriyah hingga abad ke-lima belas hijriyah. Awalnya dari bentuk tradisi lisan (hapalan) hingga akhirnya menjadi tradisi tulis (teks tertulis). Sebagai hasil salinan, teks Al-Qur’an uniknya diyakini oleh Ummat Islam bebas dari kesalahan. Artinya sebagai teks, AlQuran yang kita saksikan hari ini berbunyi persis 100 persen dengan apa yang dibunyikan ummat Islam pada periode Nabi Muhamad. Kalau ummat ditanya tentang keyakinan teologisnya maka semua akan mengutib firman Allah yang berbunyi ”Innā nanu nazzalnā al-dhikrā wa innā lahū laḥāfiḍūn” yang artinya ”Sesungguhnya Aku yang telah menurunkan Al-Dhikrā (sebutan lain dari Al-Qur’ān dan Aku (sendiri) yang akan menjaganya” Tapi ummat Islam jarang bertanya secara akademis, Al-Qur’an yang dijaga Allah itu Al-Qur’an sebagai tradisi tulis apa sebagai tradisi lisan, atau sebagai aksara atau sebagai bunyi, sebagai teks atau sebagai isi?

Sebai sebuah bunyi, sejak awal diturunkannya hingga ayat terakhir, Al-Qur’an menjadi bahan hapalan seluruh para sahabat. Hampir semua para sahabat merupakan pengapal Al-Qur’an, meskipun anggapan ini layak diragukan, sebab tidak semua sahabat memiliki hapalan yang bagus sehingga layak menjadi seorang rawi hadīth yang reliable (thiqa). Tetapi historiografi Islam klasik tidak memberikan data siapa saja para sahabat Rasul yang tidak berminat menghapal Al-Qur’an karena memang kurang memiliki kekuatan menghapal. Data sejarah ini kemudian dikuatkan oleh adigum teologis yang mengatakan bahwa ”kullu aḥāba ‘udul” semuah sahabat layak dipercaya. Dikotomi ummat Islam menjadi dua komunitas teologis, Sunni dan Syi’ah sebenarnya menjadi argumen sejarah yang menafikan adigum di atas. Bagi kalangan Syi’ah narasi Islam akan lebih valid bila bersumber pada jalur Ahl Bait, sedangkan kelompok Sunni cenderung memilih untuk tidak memilih jalur tersebut. Ilm Jar wa al-Ta‘dīl dalam Muala al-Hadīth juga menjadi bukti akademis bahwa seorang sahabat tidak semua layak mampu menarasilak ucapan Rasul.  Nah sekelompok yang tidak semua layak menarasikan Hadīth, mestinya juga tidak semua layak menarasikan Al-Qur’an secara verbal. Sayangnya kita tidak memiliki data sejarah yang memadai siapa sahabat yang tidak hapal Al-Qur’an. 

Ketika terjadi perang Uhud, banyak sahabat yang hapal Al-Qur’an meninggal menjadi shuhada’ Uhud, Rasulullah mulai berpikir untuk menjadikan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan. Meninggalnya para sahabat yang menghapal Al-Qur’an tentu saja merisaukan hati Rasulullah, karena itu bisa berarti hilangnya Rasullah sebagai teks verbal. Semenjak itu kemudian Rasulullah menunjuk beberapa sahabat untuk menulis apa yang diterima dari Allah lewat malaikat Jibril. Salah satu sahabat Nabi yang dipercaya sebagai penulis wahyu adalah Zayd bin Thābit. Alqur’an semenjak itu tidak lagi merupakan teks verbal yang dihapal para sahabat melainkan juga teks tertulis diatas media yang ada pada saat itu. Untuk menghindari tercampur baurnya antara dua teks suci: Al-Qur’an dan Al-Sunna, maka Rasulullah melarang para sahabat untukmenuliskan darinya kecuali Al-Qur’an. Artinya penulis Hadith Nabi dilarang oleh Nabi sendiri saat dia masih hidup. Sebagai teks tertulis, Al-Qur’an jelas lebih tua meskipun sebagai teks verbal kedua teks suci tersebut berumur sama tua.

Pada awalnya Al-Qur’an ditulis di atas media apa adanya, dan aksara yang dipergunakan pada saat itu. Ditulis di atas tulang belulang, papan, kemudian dengan media yang lebih baik yaitu kulit menjangan yang disamak kasar (parchment). Aksara yang dipergunakan juga sederhana, kufi tanpa ada titik dan vokalisasi. Sebagai teks tulis Al-Qur’an mungkin mengalami perubahan, dari media yang dipergunakan untuk penulisan di atasnya, jenis aksara hingga jenis kha yang dipakai untuk menulisnya. Tetapi sebagai teks verbal, Al-Qur’an relatif lebih homogen alias nyaris sama, sebab menghapal Al-Qur’an merupakan tradisi keagamaan yang ditransmisikan dari generasi ke generasi lainnya.

Keragaman Al-Qur’an sebagai teks tulis nampak jelas ketika kita meneliti banyak naskah salinan Al-Qur’an di belahan dunia manapun. Keragaman yang paling sederhana tentu saja bisa dilihat dari aspek kodikologis. Aspek kodikologis adalah hal hal yang terkait dengan jenis dan warna tinta , jenis khat, jenis kertas, teknologi penjilidan dan lain sebagainya. Aspek kodikologis ini erat hubungannya dengan kebudayaan lokal dimana Al-Qur’an disalin. Keragaman yang lain bisa dilihat dari aspek filologis. Di banyak tempat pada naskah salinan Al-Qur’an terdapat tidak sedikit kesalahan tulis, meskipun kemudian kesalahan tersebut diberi pembetulan oleh penyalin berikutnya. Kesalahan tersebut ada yang berupa hilangnya beberapa kata, bisa juga merupakan penjelasan tentang perbedaan cara menulis sesuai dengan jenis cara membaca Al-Qur’an (Al-Qirā’a al-Sab‘a).

Lembaga Pentashihan Al-Qur’an yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk mendekatkan Al-Qur’an sebagai teks tulis dan teks verbal. Meskipun lembaga ini adalah lembaga yang paling otoritatif, tidak ada satupun teks tulis Al-Qur’an yang dianggap paling reliable untuk dijadikan rujukan dalam mentashihkan. Dalam mentashih mereka tidak melakukan proses kolasi. Yang mereka lakukan adalah mencocokkan antara teks verbal dengan teks tulis yang hendak naik cetak. Di sinilah urgensinya lembaga pendidikan yang mengkhususkan peserta didiknya untuk menghafal Al-Qur’an.

ã Amiq Ahyad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar