Senin, 13 Mei 2013

Interlinear Notes dan Manuskrip Islam Pesantren



Di kalangan santri di wilayah Jawa Tengah, ada dua istilah yang dipergunakan untuk menyebut istilah interlinear notes ini. Yang pertama adalah Jambulan dan Jenggotan. Istilah pertama diperuntukkan bila catatan berada diatas baris dari naskah utama, sedangkan Jenggotan diperuntukkan bagi catatan yang berada di bawah baris naskah utama. Meskipun keduanya menunjukkan catatan diantara dua baris utama, dari isi dan fungsinya istilah kedua lebih cocok untuk istilah interlinear trannslation. Interlinear translation adalah arti yang diberikan pennyalin manuskrip Islam Pesantren atas kata kata yang  tidak dipahaminya dari sebuah naskah utama (al-matn). Sesuai artinya, arti dari kata yang sulit tersebut ditulis diantara dua baris dari naskah utama.

Dari sisi jenis tulisan (al-khaṭṭ) naskah utama dan interlinear notes memiliki jenis yang bebeda. Naskah utama pada manuskrip Islam Pesantren seringkali ditulis dengan khaṭṭ jenis Naskh, sedangkan interlinear meaning seringkali ditulis dengan  jenis Ruq‘a. Kedua jenis catatan tersebut ditulis dengan tulisan miring (slanting) dengan sudut kemiringan 45 derajat.

Dari sisi bahasa kedua jenis teks dalam manuskrip Islam Pesantren juga memiliki perbedaan bahasa yang dipergunakan. Mayoritas manuskrip Islam Pesantren merupakan salinan naskah yang sama yang pernah ada di pusat pengajaran Islam di Timur Tengah, sehingga mayoritas bahasa yang dipergunakan untuk menulis naskah utama adalah bahasa Arab. Jambulan yang seringkali berfungsi memberikan padanan kata ata keterangan singkat terhadap naskah utama seringkali juga ditulis dalam bahasa Arab. Sebaliknya Jenggotan seringkali ditulis dalam bahasa lokal. Bila naskah disalin di kawasan Jawa, biasanya Jenggotan ditulis dalam bahasa Jawa, begitu juga bila naskah Islam ditulis di kawasan lainnya seperti Madura, Makasar, atau kawasan geografis lainnya.

Sebagaimana penambahan vokalisasi pada naskah utama, penambahan interlinear notes erat hubungannya dengan tradisi pengajaran Islam di lingkungan pondok pesantren. Tradisi pengajaran ini diadopsi dari tradisi pengajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam di Timur Tengah. Pada tulisan singkat saya sebelumnya bahwa awalnya seorang guru akan membacakan naskah utama di hadapan para murid dan para urid kemudian memberi harakat padfa teks yang belum dipahami. Kemudian sang guru mengartikan kalimat yang dianggap sulit kedalam bahasa ibu para muridnya. Bila para murid berasal dari Jawa maka naskah keagaman yang dibaca diberi jenggotan dalam bahasa Jawa. Begitu juga bila sang murid berasal dari Jawa Barat, Padang, Makasar, Madura dan daerah lainnya. Tradisi ini bisa dengan jelas dibaca dalam naskah yang berjudul Tarājim yang kini tersimpan dengan rapi di perpustakaan Universitas Leiden dengan nomer registrasi Or. 7111.


Or.7111_f. 11

Tambahan interlinear notes pada naskah utama tentu saja bisa ditafsirkan secara beragam. Pertama, munculnya banyak jenggotan menunjukan tingkat penguasaan seorang murid terhadap bahasa Arab. Semakin banyak kosa kata bahasa asing yang dikuasai oleh seorang murid maka semakin sedikit jenggotan yang ditulis oleh sorang murid selama proses pembelajaran. Terkait dengan interpretasi pertama, munculnya sejumlah jengotan maupun jambulan berhubungan dengan tingkatan seorang murid. Semakin tinggi tingkatan dengan sedirinya kosa kata bahsa asing yang dikuasai seorang murid akan semakin banyak. Maka jumlah jenggotan maupun jambulan pada naskah yang disalin akan semakin sedikit. Kemungkinan ketiga adalah posisi yang diambil seorang murid pada proses pembelajaran. Murid yang berada di lingkaran pertama akan mendengar lebih jelas apa yang sedang disampaikan seorang guru pada proses pembelajaran. Sedangkan murid yang berada di lingkarang kedua, ketiga dan selanjutnya akan semakin kurang jeli mendengar aa yang sedang disampaikan gurunya. Dengan demikian, semakin jelas seorang murid mendengar apa yang disampaikan gurunya maka akan semakin banyak catatan yang dicatat pada naskah yang sedang dimilikinya.

Masih ada kemungkinan keempat bila dihubungkan dengan tradisi pembelajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam. Di Pondok Pesantren Lasem umpamanya, kyai Maimun Zubair melarang muridnya untuk memberikan catatan berlebihan pada kitab yang sedang dipelajarinya. Larangan ini bertujuan agar pengajaran sebuah kitab bisa berlangsung dengan cepat. Sedangkan di Pondok Pesantren Langitan justru memiliki tradisi yang berlawanan. Kyai Soleh kemudian dilanjutkan oleh Kyai Abdullah Faqih menyarankan kepada muridnya untuk memberikan jenggotan sebanyak mungkin sehingga di masa mendatang sang murid memiliki pemahaman yang benar terhadap sebuah kitab yang telah mereka pelajari.





Lang.Ar03(2)_f.25a.

Jenggotan inilah di masa kini menjadi penanda utama asal sebuah naskah. Bila jenggotan ditulis dalam bahasa Jawa huruf pegon maka hampir bisa dipastikan naskah yang ditemukan berasal dari tanah Jawa atau disalin orang yang memiliki interaksi dengan kultur Jawa.

Surabaya, 14 Mei 2012

Salam,
Amiq Ahyad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar